Denpasar (ANTARA News) - Indonesia perlu aturan legal yang jelas, tidak tumpang tindih dan sejalan dengan kepentingan rakyat dan lingkungan untuk mendorong perbaikan dalam praktek perkebunan sawit.
Rudy Lumuru, Direktur Eksekutif Sawit Watch dalam siaran pers kepada ANTARA di Denpasar, Sabtu mengatakan, Forum Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) IV yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pekan ini masih jauh dari harapan masyarakat, sehingga perlu dikaji ulang agar dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
"Aturan teknis yang bersifat sukarela di RSPO memang menuju pada perbaikan, tetapi belum cukup kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah akibat perluasan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia," katanya.
Sebenarnya kalau Indonesia mempunyai aturan yang kuat dan berpihak pada rakyat, kita tidak membutuhkan forum seperti RSPO. Begitu juga sejak UU Perkebunan No.18/2004 ditetapkan empat tahun yang lalu, tidak juga terjadi perbaikan yang signifikan di lapangan.
"UU ini malah memperkuat posisi industri dan menempatkan masyarakat pada posisi yang sangat lemah. Bahkan masyarakat sering dikriminalkan, karena dianggap mengganggu proses produksi diperkebunan," jelasnya.
Hal senada juga dikatakan Deputy Director Sawit Watch, Abet Nego Tarigan menunjukkan, pertemuan RSPO kemarin menyatakan sejumlah perusahaan yang berhasil mendapatkan sertifikat berkelanjutan, tapi sistem sertifikasi RSPO tidak otomatis membuat perkebunan sawit bersih.
"United Plantation, Sem Derby dan New Britain Palm Oil yang memperoleh sertifikat, tercatat masih memiliki konflik dengan masyarakat di Kalimantan Tengah," katanya.
Banyak hak sipil politik masyarakat yang dilanggar, dan dalam proses pembukaan perkebunan sawit. Pada tahap ini aparat negara sering digunakan untuk mempermudah prosesnya, sehingga dapat dikatakan negara memfasilitisasi pelanggaran yang terjadi.
"Sawit Watch mencatat hingga akhir tahun 2007 saja, ada 513 konflik sosial yang muncul akibat ekspansi perkebunan sawit," ucapnya.
Pada tahap pengelolaan, dengan semakin kuatnya posisi perusahaan perkebunan, saat berkonflik dengan masyarakat, perusahaan perkebunan dapat menutup akses masyarakat, diantaranya dengan membuat barikade. Seperti yang terjadi Di Serdang Bedagai, perusahaan menutup jalan umum sehingga anak-anak tidak dapat pergi sekolah.
"Kami harapkan ke depan pemerintah memainkan perannya dengan benar dalam mengatur perkebunan sawit, dan menerapkan pendekatan yang berbasiskan hak asasi manusia dalam aturan perkebunan. Sehingga perkebunan sawit berkelanjutan di Indonesia bukan hanya berbentuk selembar kertas dengan masalah yang tak kunjung usai, tetapi dapat menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakatnya," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008