Jakarta (ANTARA) - Kinerja otak telah membuat penasaran para ilmuwan di seluruh dunia. Pelbagai percobaan pun dilakukan untuk melakukan banyak observasi dan eksperimen untuk mengetahui dan menguji fungsi otak dan sistem persarafan (neuron).
Neuron-neuron berkomunikasi menggunakan kombinasi aktivitas elektrik dan kimiawi. Para ilmuwan terdahulu menemukan hal itu melalui pelbagai observasi dan eksperimen.
Sekarang mulai jelas bagaimana neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Rahasia komunikasi neuron mulai terungkap. Kita dapat menggunakan sinyal listrik dan cahaya untuk mengaktifkan neuron dan memprediksi pelbagai kemungkinan yang terjadi.
Sekitar akhir tahun 1700, seorang ilmuwan Itali, Luigi Galvani, berjalan melintasi pasar selama badai yang disertai halilintar. Ia melihat kaki kodok dijual di pasar dan berdenyut. Ia memiliki hipotesis bahwa efek listrik dari badai mengaktivasi saraf kaki kodok.
Ia memutuskan untuk menguji hipotesisnya di laboratorium. Galvani menggunakan elektrode, untuk mengalirkan arus listrik ke saraf kodok. Ternyata saraf kodok berdenyut. ini menjadi studi stimulasi elektrik (SSE) pertama di bidang neurosains.
SSE merupakan suatu teknik untuk mengaktivasi neuron atau jalur sistem persarafan dengan cara memasukkan suatu elektrode kecil dan mengirimkan arus listrik ke jaringan. Hal ini menyebabkan perubahan aktivitas listrik di jaringan.
Baru pada tahun 1930-an stimulasi listrik digunakan untuk memetakan otak manusia. Wilder Penfield, pakar bedah saraf, menangani pasien epilepsi. Epilepsi menyebabkan sinyal listrik di otak menjadi tidak berfungsi secara normal.
Pada kasus tertentu, operasi otak diperlukan untuk menghentikan epilepsi. Peta otak diperlukan untuk membantu dokter bedah saraf mengetahui area otak mana yang seharusnya tidak dioperasi. Wilder Penfield menggunakan stimulasi listrik untuk memetakan otak.
Baca juga: Alasan hipertensi dan diabetes bisa turunkan fungsi otak
Masih di tahun 1930an, eksperimen tentang stimulasi otak mengalami perubahan.
Setelah dievaluasi, studi stimulasi elektrik memiliki beberapa kelemahan. Problematika pertama adalah kemungkinan otak menjadi rusak saat elektroda dimasukkan. Permasalahan lainnya, stimulasi listrik mengaktivasi jaringan secara umum dan tidak selektif.
Tahun 1999, peraih Nobel Francis Crick mengatakan bahwa ide penyelidikan otak dan sistem persarafan dengan gelombang cahaya tidak masuk akal, namun masih dapat diterima.
Pada tahun 2002, penelitian awal dari laboratorium Gero Miesenbock menunjukkan bahwa ekspresi genetika dari suatu kaskade fototransduksi tiga gen Drosophila menghasilkan neuron yang dapat digerakkan oleh cahaya, dan menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengaktivasi neuron spesifik dengan cahaya dapat berfungsi sebagai alat untuk menemukan koneksi saraf, dan menentukan kekuatan neuron yang spesifik untuk mendorong aktivitas di sirkuit sistem persarafan.
Di antara bulan Oktober 2003 dan Februari 2004, publikasi Karl dan kawan-kawan berhasil menunjukkan bahwa fisiologi sel dapat diintervensi dengan manik-manik (beads) magnetik.
Publikasi oleh Georg Nagel dan kawan kawan menunjukkan bahwa opsin dapat menggerakkan fototaksis di alga hijau Chlamydomonas reinhardtii. Opsin adalah suatu suatu saluran kation dimana ketika berpendar (iluminasi) memungkinkan ion-ion bermuatan positif (seperti H+ dan Na+) memasuki sel-sel di mana ia diekspresikan secara heterolog.
Nagel dan kawan-kawan menamai molekul itu channelrhodopsin-2, yang dapat dipakai untuk mendepolarisasi sel-sel, seperti: sel-sel HEK (Human Embyonic Kidney), oosit, sebagai respons terhadap cahaya. Channelrhodopsin-2 merupakan peralatan yang bermanfaat untuk memanipulasi konsentrasi Ca2+ intraseluler atau potensial membran, terutama di sel-sel mamalia.
Pelbagai peralatan canggih digunakan para ilmuwan di laboratorium. Umumnya mereka menggunakannya di percobaan in vitro. Misalnya: lampu xenon dan merkuri konvensional, diode pemancar cahaya, pengatur cahaya (shutters), laser scan, laser femtosecond, dan beraneka macam mikroskop.
Hanya dalam tiga tahun pertama setelah publikasi pertama tentang channelrhodopsin-2 di neuron, berbagai alat tersebut digunakan secara in vivo (pada makhluk hidup) untuk menentukan bagaimana neuron dapat memodulasi fungsi otak, seperti: melihat, bernapas, bergerak, belajar, bernapas.
Tahun 2005, suatu studi dari laboratorium Karl Deisseroth yang berhasil dipublikasikan di jurnal Nature Neuroscience menunjukkan aktivasi neuron yang tepat, andal, yang mengekspresikan protein mikrobial Channelrhodopsin-2 (ChR2) yang sensitif terhadap cahaya.
Sensitisasi neuron terhadap cahaya, lalu manipulasi aktivitas neuron dalam pola-pola spasiotemporal tertentu untuk menjawab pertanyaan terkait sirkuit dan perilaku sistem persarafan.
Para ilmuwan dan pakar neurosains menggunakan ChR2 untuk membantu menggambar peta fungsional otak tikus yang terkena stroke.
Mulai bulan Agustus 2005, istilah optogenetik mulai diperkenalkan melalui publikasi di jurnal Nature Neuroscience. Optogenetik adalah teknik yang menggunakan kombinasi rekayasa genetika dan cahaya untuk mengendalikan dinamika dan aktivitas sel.
Optogenetik digunakan di pelbagai protein teraktivasi cahaya yang dikode secara genetik untuk memanipulasi sel-sel dengan cahaya melalui metode noninvasif. Perangkat molekuler yang utama adalah ChR2, yang memungkinkan metode aktivasi dari sel-sel yang tereksitasi secara elektrik melalui depolarisasi cahaya. Singkatnya, optogenetik adalah peralatan untuk manipulasi sistem saraf.
Pada tahun 2014, struktur kristal dengan resolusi tinggi dari channelrhodopsin memungkinkan rekayasa struktur pori-pori saluran opsin. Gunanya, untuk membuat kanal konduksi penghambat klorida. Tentunya diikuti oleh identifikasi channelrhodopsin penghantar klorida alami.
Pada 3 Oktober 2019, yayasan Warren Alpert menganugerahi empat ilmuwan, yakni: Karl Deisseroth, Gero Miesenböck, Peter Hegemann, Edward Boyden, Warren Alpert Foundation Prize, yang berkontribusi dalam hal optogenetik.
Teknik optogenetik memiliki berbagai keunggulan. Misalnya: presisi atau keakuratan mencapai milidetik, menjangkau tipe sel yang spesifik, minimal invasif, kolaborasi multi-interdisipliner.
Optogenetik juga dapat diterapkan di beragam riset dan model organisme, seperti: sel punca (stem cells), Caenorhabditis elegans, zebrafish, tikus pengerat (rodent), primata, dan sebagainya.
Baca juga: Peneliti identifikasi jaringan otak yang bantu anak berjalan
Baca juga: Teh hijau juga bisa tingkatkan kerja otak
Keunikan
Optogenetik memang unik. Keampuhannya di dalam menaklukkan penyakit telah teruji di pelbagai hewan coba. Teknik optogenetik berhasil memulihkan penglihatan di tikus buta, menghentikan kejang di hewan coba dengan epilepsi, dan menghilangkan manisfestasi perilaku kecanduan pada tikus yang kecanduan kokain.
Keberhasilan ini berpotensi besar untuk direplikasi pada manusia dengan standar paripurna dan regulasi ketat.
Kombinasi optogenetik dan injeksi sel punca menawarkan metode unik sebagai solusi atas problematika bagaimana cara mengirimkan opsin yang sensitif cahaya ke otak manusia tanpa menggunakan virus.
Pemetaan optogenetik menciptakan banyak kemungkinan untuk investigasi bagaimana otak bekerja. Saat terjadi peningkatan teknik optogenetik dan lebih banyak opsin yang dibuat atau ditemukan, maka ada kemungkinan terjadi pengendalian lebih banyak pada studi stimulasi otak.
Boleh jadi kita dapat menggunakan beberapa opsin untuk mengontrol beberapa tipe neuron secara bersamaan. Karena setiap opsin merespons pada jenis cahaya tertentu, kita dapat menggunakan cahaya yang berbeda untuk mengontrol berbagai jenis neuron.
Faktanya, beberapa opsin menonaktifkan neuron ketika tipe cahaya yang tepat hadir.
*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen FKIK Unismuh Makassar, delegasi Indonesia terpilih untuk mengikuti 2020 The Annual Biomedical Exploration Workshop di Taipei Medical University (TMU) Taiwan yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Taiwan, kepala LP3AI ADPERTISI, pengurus ASPI dan APKKM, anggota I-4
Copyright © ANTARA 2020