"Banyak pihak yang menganggap tangkap tangan kali ini membuktikan bahwa Pimpinan KPK dan UU KPK baru tidak relevan lagi untuk dipersoalkan. Faktanya justru sebaliknya, UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK..."
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini berlaku terbukti memperlambat kinerja lembaga antirasuah itu.
ICW melontarkan pernyataan tersebut setelah melihat perkembangan pengungkapan kasus suap yang menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Baca juga: ICW menilai pansel tidak fokus cari calon pimpinan KPK
Baca juga: ICW sarankan KPK lakukan upaya hukum ganda kembalikan uang negara
"Banyak pihak yang menganggap tangkap tangan kali ini membuktikan bahwa Pimpinan KPK dan UU KPK baru tidak relevan lagi untuk dipersoalkan. Faktanya justru sebaliknya, UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu.
Menurut Donal, setidaknya terdapat dua kejadian penting dan perlu dicermati dalam peristiwa OTT yang melibatkan Komisioner KPU itu.
Pertama, penyidik KPK lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Hal itu terjadi karena dalam UU KPK baru, tepatnya pada Pasal 37 B ayat (1) disebutkan bahwa tindakan penggeledahan harus seizin Dewan Pengawas.
Sementara, kata Donal, dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 atau UU KPK yang lama, tindakan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari pihak manapun.
"Bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan, bahkan menghilangkan bukti-bukti," kata dia.
Peristiwa kedua, kata Donal, adalah dugaan adanya upaya menghalang-halangi tim penyidik KPK pada saat menangani pengembangan perkara tersebut. Sebelumnya, beredar isu mengenai penyidik KPK yang dihalang-halangi untuk menyelidiki kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI-P.
Donal mengatakan hal tersebut tidak dibenarkan karena dalam Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun.
"Harusnya setiap pihak dapat kooperatif dengan proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK," kata dia.
Dengan adanya kondisi seperti itu, Donal menilai diberlakukannya UU KPK yang baru justru menyulitkan KPK dalam upaya penegakan hukum.
Oleh karena itu, dia mendesak agar KPK berani menerapkan aturan "obstruction of justice" terhadap pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum.
Selain itu, Donal juga meminta Presiden Joko Widodo untuk menjadikan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK sebagai prioritas utama untuk menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan.
Pada Rabu 8 Januari 2020, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap salah seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum RI yaitu Wahyu Setiawan.
Wahyu diketahui meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI lewat pengganti antar-waktu (PAW)
KPK total telah mengumumkan empat tersangka terkait kasus suap penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 itu.
Sebagai penerima, yakni Wahyu dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sedangkan sebagai pemberi, yakni kader PDIP Harun Masiku (HAR) dan Saeful (SAE) dari unsur swasta.
Baca juga: Busyro sebut OTT anggota KPU bentuk lemahnya pengawasan lembaga
Baca juga: OTT komisioner KPU, PBNU: Yang penting jangan tebang pilih
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020