Semarang (ANTARA) - Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Tahun 2020, pemungutan suara pilkada serentak akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020.
Jumlahnya fantastis, memilih secara langsung 270 kepala daerah, terdiri atas 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Bandingkan dengan pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018, untuk memilih kepala daerah/wakil kepala daerah di 171 daerah terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Untuk Jateng, pilkada 23 September 2020 sebanyak 21 dari 35 daerah, terdiri atas empat wali kota/wakil wali kota, yaitu Surakarta, Pekalongan, Magelang, dan Semarang, serta 17 bupati/wakil bupati, yaitu Boyolali, Klaten, Pemalang, Pekalongan, Sukoharjo, Wonogiri, Kendal, Blora, Rembang, Purworejo, Kebumen, Purbalingga, Demak, Semarang, Sragen, Grobogan, dan Wonosobo.
Sepanjang regulasi tidak berubah, muara dari pilkada serentak 23 September 2020 akan serentak pula bertemu pada tahun 2024. Hal ini akan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden/Wakil Presiden pasca-Pemilu 2019.
Lawan Kotak Kosong
Di Jateng baru PDIP yang sudah melakukan pendaftaran, serta uji kelayakan dan kepatutan untuk menjaring dan menyaring bakal calon kepala daerah. Tercatat 97 orang yang mengambil formulir pendaftaran, dan 77 orang yang mengembalikan sekaligus melakukan uji kelayakan dan kepatutan.
Ada yang menarik dari penjaringan dan penyaringan oleh PDIP Jateng. Empat daerah, masing-masing Kota Semarang, Wonogiri, Grobogan, dan Purbalingga, tidak dilakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi bakal calon kepala daerah. Hal ini dikarenakan tidak ada figur yang mendaftar lewat PDIP untuk posisi kepala daerah.
Dengan demikian, empat petahana yang berencana mengikuti pilkada pada tahun 2020 untuk periode kedua tidak hadir mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di PDIP. Calon tunggal kepala daerah yang mendaftar lewat PDIP, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Bupati Wonogiri Joko Sutopo, Bupati Grobogan Sri Sumarni, dan Bupati Purbalingga Dyah Pratiwi.
Melihat peta kekuatan politik di empat daerah tersebut, diprediksi akan menjadi calon tunggal dengan kata lain akan melawan kotak kosong. Namun, khusus Kota Semarang ada wacana muncul bakal calon perseorangan.
Calon Perseorangan
Informasi dari Ketua KPU Kota Semarang Henry Casandra Gultom, tanpa menyebut identitasnya, baru satu orang berniat mengikuti Pilkada 2020 merebut kursi Wali Kota Semarang lewat jalur perseorangan. Melihat persyaratannya, ternyata tidak mudah, dikarenakan banyak yang harus disiapkan. Persyaratan paling krusial menyertakan berkas dukungan sekurang-kurangnya 76.445 orang yang harus dibuktikan dengan KTP elektronik.
Berkas dukungan, minimal harus tersebar di sembilan kecamatan dari 16 kecamatan di Semarang. Bisa dibayangkan berapa ongkos politik (bukan politik uang) untuk mencari, mengumpulkan, memverifikasi, menggandakan, dan menyusun 76.445 KTP. Belum lagi, dana untuk keperluan operasional ketika proses pilkada berlangsung sampai hari-"H" pemungutan suara.
Banyak sekali variabel kegiatan semuanya harus dikonversi dengan rupiah. Rasa-rasanya siapa pun setelah melakukan kalkulasi ongkos politik begitu besar, orang akan berpikir ulang untuk maju lewat jalur perseorangan. Apalagi, berhadapan dengan petahana yang sudah jelas memiliki elektabilitas dan popularitas. Beda apabila figur yang akan lewat jalur perseorangan memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi. Melihat kondisi ini, tampaknya sulit seseorang akan maju lewat jalur perseorangan, termasuk di Semarang.
Hendi (Hendrar Prihadi) , Wali Kota Semarang, sang petahana, tampaknya akan menghadapi kotak kosong pada Pilkada 2020 untuk menjabat periode kedua.
Melawan kotak kosong dalam pilkada, sejatinya tidak menguntungkan bagi proses demokrasi. Publik "dipaksa" untuk memilih pemimpinnnya dengan perbandingan kotak kosong.
Padahal, pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding.
Apa yang dirasakan oleh pasangan calon yang ternyata harus berhadapan dengan kotak kosong? Pertama, pastilah sangat optimistis karena kemenangan langsung ada di depan mata. Ongkos politik nisbi lebih rendah dibanding apabila head to head. Tidak perlu banyak dana, terutama logistik.
Kedua, mestinya bangga. Hal ini menggambarkan tak tertandingi. Lawan takut sebelum bertanding. Di sini fungsi mesin parpol tidak berhasil melakukan kaderisasi dengan menyiapkan kandidat untuk bertarung.
Mestinya tak harus terjadi, bila parpol siap untuk berkompetisi. Justru sebaliknya, fenomena calon tunggal di pilkada makin menunjukkan bila parpol di daerah telah gagal melakukan rekrutmen kader yang siap berkompetisi.
Bahkan, lebih memilih mendukung partai yang lebih kuat, bisa-bisa malah dapat kompensasi daripada mengajukan calon. Apalagi, biaya pencalonan dan biaya pemilu cukup mahal parpol harus ikut menanggung.
Ketiga, diakui atau tidak diakui calon tunggal memiliki beban moral yang tidak ringan. Menang dengan kotak kosong, tidak membanggakan dibandingkan ada lawannya.
Kalau sampai kalah dengan kotak kosong, habislah reputasi dan kredibilitasnya. Karena proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, siapa pun tidak bisa menjamin siapa yang akan menang. Hasilnya benar benar unpredictable.
*) Drs. Pudjo Rahayu Rizan, M.Si., Magister Kebijakan Publik Undip, dosen tidak tetap STIE BPD dan STIE Semarang.
Copyright © ANTARA 2020