Jakarta (ANTARA) - Praktisi hukum Ade Irvan Pulungan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap siapa penggoda Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) sehingga tergoda melakukan korupsi.

"Terkadang seorang public figure atau pejabat negara lah. Dia bukan menggoda tapi dia digoda melakukan perbuatan (korupsi). Bisa jadi jabatannya itu juga digunakan orang lain untuk mendapatkan keuntungan oleh orang tersebut, itu bisa juga terjadi. Makanya itu yang harus benar-benar (diungkap)," ujar Ade dalam diskusi Polemik KPK di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: KPU siap sediakan dokumen yang diperlukan KPK
Baca juga: Busyro sebut OTT anggota KPU bentuk lemahnya pengawasan lembaga


Selama ini, ia merasa orang yang menjadi penggoda melakukan korupsi tidak terlalu tegas diungkap KPK.

Padahal orang yang berencana seperti itu lah yang seharusnya diberikan sanksi yang tegas bahkan apabila perlu diterapkan hukuman mati.

"Kalau dia memang begitu berulang kali ya sudah dimiskinkan atau bila perlu diberi hukuman mati. Kalau memang dia berencana untuk itu, enggak apa-apa (hukuman tegas), saya setuju," kata Ade.

Sementara itu, pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan KPK harus berani menerapkan pengusutan tindak pidana korupsi yang difasilitasi korporasi (perusahaan/ lembaga).

Selama ini, masih sangat minim sekali pengusutan tindak pidana korupsi yang difasilitasi korporasi. Ia mencontohkan dalam kasus Meikarta pun belum, demikian menurut Suparji.

"(Kasus Meikarta) belum dikenakan tindak pidana korporasinya, bahkan kemudian hanya berhenti di kalangan-kalangan tertentu," kata dia.

Ia berpendapat mestinya KPK lebih bertindak progresif, sehingga tidak lagi berhenti penindakan pada tingkat tertentu saja.

"Kalau itu dilakukan, saya kira, korporasi itu tidak akan berani menyuap lagi," kata dia pula.

Mengenai ada isu KPK dihalang-halangi untuk menyelidiki kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI-Perjuangan, menurut Suparji, harus ada penjelasan ke publik, supaya publik tidak bertanya-tanya mengapa bisa dihalangi.

"Kalau surat penyelidikan tidak lengkap, seharusnya tidak boleh begitu. Berarti ada ketidaksiapan KPK melakukan itu. Tapi kalau sudah lengkap, tapi dihalang-halangi maka bisa diterapkan pasal 21 (UU Pemberantasan Tipikor) tentang obstruction of justice yaitu menghalang-halangi penyelidikan, ada konsekuensi hukumnya," kata Suparji.

Selain itu, KPK juga perlu segera memperjelas status Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto untuk mengkalirifikasi adanya isu dugaan keterlibatannya dalam kasus tersebut.

"Supaya tidak terjadi fitnah, supaya tidak berbagai macam spekulasi, lebih baik dipanggil untuk melakukan klarifikasi. Kalau memang tidak (terlibat), clear. Tapi kalau ada unsurnya, harus ada pertanggungjawaban," kata Suparji dalam diskusi tersebut.

Baca juga: Suap 900 juta kok ditangani KPK? Diminta koordinasi dengan kejaksaan
Baca juga: Hukum kemarin, perkembangan OTT komisioner KPU hingga bupati Sidoarjo

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020