Jakarta (ANTARA News) - BUMN pupuk terbesar di dalam negeri, PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), terancam rugi selisih kurs sekitar Rp476 miliar bila nilai tukar rupiah sampai akhir tahun terus melemah mencapai Rp12 ribu per dolar AS.
"Setiap kenaikan rupiah sebesar 100 basis poin, PKT rugi kurs sekitar Rp15 miliar, karena pembayaran gas dengan dolar AS, begitu pula dengan pembelian suku cadang, dan angsuran atau bunga utang valas," kata Direktur Keuangan PKT Eko Sunarko di Jakarta, Kamis.
Kendati demikian, dikatakannya, secara keseluruhan tahun ini PKT masih mampu menghasilkan laba.
Dirut PKT Hidayat Nyakman menambahkan setiap bulan pihaknya harus membayar gas sekitar 50-60 juta dolar AS. Menurut dia, sekitar 60-70 persen biaya produksi pupuk mempergunakan dolar AS, karena pembelian gas harus dengan dolar AS.
Namun, ia memperkirakan sampai akhir tahun PKT bisa menghasilkan laba sampai Rp800 miliar. Hidayat mengatakan, PKT berpotensi meraih laba lebih besar lagi bila pemerintah memberi ijin ekspor pupuk urea ketika harga internasional pada awal sampai pertengahan tahun lalu sangat tinggi.
"Coba waktu harga (pupuk) mahal, bisa kami manfaatkan. Untung kami bisa mencapai Rp3 triliun," ujarnya.
Hal itu, kata dia, dengan asumsi, bahwa ada satu pabrik pupuk di dunia yang mampu meraih keuntungan sampai Rp1 triliun hanya dengan satu pabrik pupuk. Sedangkan PKT memiliki lima pabrik pupuk, sehingga keuntungan bisa mencapai Rp5 triliun atau minimal Rp3 triliun.
Menurut dia, penjualan pupuk urea di dalam negeri untuk pupuk bersubsidi hanya menghasilkan keuntungan riil sekitar 4-5 persen dari margin yang diberikan pemerintah sebesar 10 persen atas pasokan pupuk bersubsidi. "Sampai saat ini total nilai penjualan PKT telah melampaui RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) yaitu mencapai di atas Rp9 triliun dari RKAP Rp6 triliun," katanya.
Ia menilai keuntungan dari ekspor pupuk urea maupun amoniak sangat sangat penting, selain untuk mendapatkan dolar AS, juga menambah keuntungan untuk tabungan dan investasi, mengingat kebutuhan pupuk di dalam negeri terus meningkat sehingga perlu penambahan pabrik baru.
"Tanpa penambahan pabrik pupuk baru di Indonesia, maka kita bisa mengalami kelangkaan pupuk pada 2015," ujarnya.
Hidayat memperkirakan pada 2015 kebutuhan pupuk urea nasional mencapai sekitar 15 juta ton, sedangkan saat ini kapasitas produksi pupuk nasional hanya mencapai sekitar delapan juta ton saat ini, dengan realisasi produksi hanya sekitar 5,5 juta ton. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008