"Tidak semestinya hal itu diucapkan oleh Gubernur BI. Siapa yang bisa melarang masyarakat memegang rupiah, wong itu uang mereka. Pokoknya `emang gue pikirin`," kata pengamat pasar uang, Farial Anwar di Jakarta, Rabu
Menurutnya, masyarakat akan bergeming terhadap himbauan itu karena pada dasarnya nasionalisme mereka pun juga sudah berkurang.
Mengenai kebijakan melampirkan "underlying transactions" untuk pembelian valuta asing, Farial menganggap langkah tersebut telah terlambat dan semestinya lebih bersifat "antisipatif" daripada "reaktif."
"Buktinya, setelah dikeluarkan nilai tukar rupiah malah terus merosot," katanya.
Dia menilai BI mulai "ngos-ngosan" dalam menjaga rupiah dan terlihat saat pernyataan Gubernur BI yang mengharapkan adanya tambahan dolar AS saat pemerintah akan menerima pencairan pinjaman program sekitar 2 miliar dolar AS pada akhir tahun ini. Tambahan tersebut untuk menambal penurunan cadangan devisa hingga sekitar 6-7 miliar dolar AS hanya dalam waktu singkat.
"Itu kan belum tentu. Selain itu pinjaman program harus digunakan sebagaimana peruntukannya bukan untuk menambah cadangan devisa," tambahnya.
Dijelaskannya, BI sebenarnya merugi banyak dari sisi operasionalnya karena harus melepas sekian banyak dolar AS di bawah nilai tukar di pasar.
"Neraca operasional BI bisa minus besar pada akhir tahun nanti dari valuta asing," jelasnya.
Menurut Farial, pemerintah dan BI harus berani mengambil langkah dan merevisi UU lalu lintas devisa, terutama mengenai rezim devisa bebas.
"Tidak perlu diubah dengan `capital control` yang melarang pelarian mata uang valuta asing ke luar negeri, tapi bisa diterapkan kebijakan devisa bebas yang terkendali," katanya.
Hal itu menurut Farial bisa dilakukan salah satunya dengan mengharuskan devisa yang masuk untuk mendekam selama 1 tahun atau terkena penalti 30 persen, seperti yang diberlakukan di Thailand.
Cara lain adalah mewajibkan semua devisa hasil ekspor masuk ke Indonesia dan tidak boleh diparkir di luar negeri.
"Rezim devisa bebas dengan kurs mengambang itu pada awalnya memang untuk menarik investasi ke Indonesia, agar investor merasa nyaman. Tetapi kenyataannya, yang dominan masuk adalah `hot money` ke pasar modal yang jika terjadi pelarian, akan mengancam pasar modal dan nilai tukar seperti sekarang ini," jelasnya.
Dalam perdagangan beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga sempat menembus level Rp12.000 per dolar AS. Pada waktu krisis finansial 1997 lalu, nilai tukar bahkan mencapai kisaran Rp17.000 per dolar AS.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008