Puluhan mahasiswa ini melakukan orasi-orasi sambil membagikan selebaran kepada pengguna jalan yang berisikan tentang penghentian aksi brutalisme polisi.
Aksi teaterikal yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut menceritakan tentang kekejaman polisi dalam melakukan pengamanan.
Dalam orasinya, para demonstran ini menilai banyaknya kasus yang dilakukan secara sistematis oleh aparat kepolisian Sulselbar, seperti penembakan membabibuta kepada lima warga Desa Rumbia, Kabupaten Jeneponto.
Penembakan warga Polongbangken, Takalar, penyerbuan dan penyiksaan terhadap sebuah keluarga tentara di Kabupaten Bantaeng dan penyerangan polisi terhadap nelayan di Ponre, Bulukumba.
Selain itu, juga terjadi pemukulan dan penganiayaan terhadap mahasiswa di DPRD Bone dan DPRD Sulbar, sampai pada penangkapan ratusan mahasiswa dan penyerangan lima kampus di Makassar dalam kurun waktu enam bulan terakhir.
"Semua tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi adalah bukti nyata betapa ada sesuatu yang tidak beres di tubuh pasukan berseragam coklat tersebut," tegas salah seorang mahasiswa.
Padahal UU tersebut jelas sangat lemah jika diperhadapkan dengan UUD 1945 pasal 28E (3) yang berbunyi "setiap orang berhak ata kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Tidak cukup hanya itu, lanjutnya, sang Kapolda juga membangun sikap tidak bersahabt terhadap kelompok profesional, dengan mengkriminalisasi pers dan menyudutkan advokat.
Menurutnya, UU No.9/1998 yang digencarkan Kapolda tentang tata cara penyampaian pendapat dijadikan suatu legitimasi membubarkan secara paksa dan brutal.
Dalam pernyataan sikapnya, para mahasiswa ini menuntut kepada Kapolri agar segera mencopot Kapolda Sulselbar, Sisno Adiwinoto. Segera usut tuntas aksi-aksi brutal yang dilakukan kepolisian Sulselbar serta mendesak DPRD Sulsel untuk sefera menyikapi tindakan brutal polisi.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008