Jakarta (ANTARA News)- Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, mengatakan pemerintah harus segera mempelajari secara komprehensif pesan Bank Dunia (Wold Bank) yang menyatakan bahwa banyak negara berkembang sedang bergerak menuju zona bahaya (danger zone). Pesan tersebut tertuang dalam laporan Bank Dunia yang berjudul "Global Financial Crisis : Responding Today, Securing Tomorrow", yang disiapkan untuk pertemuan G-20. Salah satu indikator Bank Dunia adalah pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang yang diharapkan bisa mencapai 6,4 persen pada 2009 ternyata bisa merosot menjadi 4,5 persen. Laporan itu juga menyebutkan kondisi krisis keuangan saat ini terlalu banyak ketidakpastian, bahkan perkiraan pertumbuhan ekonomi bisa jadi hanya sebagai bentuk optimisme saja. Artinya beberapa negara sedang berkembang bisa terkena dampak yang jauh lebih berat, bahkan pertumbuhan ekonomi bisa negatif baik secara per kapita maupun total. Pemerintah perlu meminta pihak Bank Dunia untuk mempresentasikan secara rinci indikator-indikator yang bisa menyebabkan sebuah negara berkembang masuk ke zone bahaya, dan segara membuat penilaian sejauh mana indikator-indikator tersebut bisa diantisipasi oleh pemerintah agar dapat terhindar masuk ke zona bahaya, kata di Jakarta, Selasa. Menurut Elfian, pemerintah secara serius memperhatikan perkiraan Bank Dunia terhadap kejatuhan volume perdagangan global hingga -2,5 persen pada tahun depan - pertama sejak 1982, mengingat perkiraan tersebut terkait dengan target ekspor Indonesia. Tidak hanya itu, harga-harga produk komoditas diperkirakan jatuh hingga -2,3,2 persen pada tahun 2009, ujarnya. Tawaran pinjaman baru Elfian mengatakan Bank Dunia dalam kaitan itu diperkirakan akan membuka kran portofolio penawaran pinjaman baru sebesar 100 miliar dolar AS kepada negara-negara berkembang. Karena itu, pemerintah diminta waspada tidak terperangkap dengan tawaran pinjaman dari Bank Dunia, karena total stok utang pemerintah per 30 September 2008 sudah mencapai angka Rp1.486 triliun, masing-masing Rp581 triliun merupakan utang luar negeri dan Rp905 triliun adalah utang dalam negeri dalam bentuk surat berharga negara. Nilai total jatuh tempo utang pemerintah yang untuk lima tahun ke depan saja (2009-2014) sudah mencapai angka Rp518,02 triliun, tuturnya. Beban yang berat, belum lagi diperparah dengan semakin membengkaknya penerbitan surat utang negara (SUN), karena harus menutupi defisit APBN dan kebutuhan pembiayaan kembali sebagian utang luar negeri. Faktor ini harus diperhatikan oleh pemerintah agar tidak tergiur dengan tawaran pinjaman luar negeri dari Bank Dunia, ujar Elfian. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008