Washington, (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Senin, menghubungi pemimpin Libya Moamer Kadhafi untuk membicarakan akhir dari "bab menyakitkan" antara dua negara khususnya pemboman pesawat PanAm tahun 1988 di atas Lockerbie, Skotlandia."Presiden (Bush) menghubungi pemimpin Libya Kolonel Kadhafi untuk menyampaikan rasa puas atas kesepakatan penyelesaian yang telah sepenuhnya terlaksana pada 31 Oktober," kata jurubicara dewan keamanan nasional Gordon Johndroe seperti dilaporkan AFP.Penyelesaian tersebut mengenai pembayaran sebesar 1,5 miliar dolar sebagai ganti rugi para korban aksi terorisme peledakan pesawat tersebut."Kedua pemimpin membicarakan tentang kesepakatan ini, yang diharapkan dapat menutup bab menyakitkan dalam sejarah kedua negara," kata Johndroe.Libya pada 31 Oktober membayar 1,5 miliar dolar kepada Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan yang merupakan proses terakhir menuju normalisasi penuh hubungan denganWashington.Bush juga menandatangani perintah untuk memulihkan kekebalan Libya terhadap gugatan hukum di pengadilan AS, kata para pejabat. Johndroe mengatakan AS akan selalu berduka atas para korban namun "kesepakatan penyelesaian adalah langkah penting dalam memperbaiki hubungan antara Libya dan AS.""AS akan meneruskan hubungan bilateral dengan Libya guna memantapkan dialog mengenai berbagai hal seperti HAM, reformasi, dan perjuangan melawan terorisme," katanya.Seorang pejabat departemen luar negeri yang tidak ingin disebut namanya kepada wartawan mengemukakan bahwa anak Kadhafi yaitu Seif al-Islam akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di Washington pada hari Selasa."Dia berada di AS untuk acara pribadi namun sudah sangat biasa, jika ada sosok politik penting yang datang ke AS untuk berbagai keperluan, menteri luar negeri maupun pejabat lainnya akan bertemu dengan mereka," kata pejabat tersebut.Seif al-Islam tidak punya jabatan resmi di pemerintah Libya namun dia adalah ketua Yayasan Kadhafi. Yayasan tersebut memainkan peran penting dalam penyelesaian perdebatan dua negara itu mengenai ganti rugi untuk para korban terorisme. (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008