Landasan apapun yang dilakukan, Indonesia tidak boleh ada negosiasi, klaim China di Natuna merupakan ancaman besarJakarta (ANTARA) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta kepada pemerintah untuk tidak melakukan negosiasi terhadap Pemerintah China soal wilayah perairan nasional di Kepulauan Natuna.
"Landasan apapun yang dilakukan, Indonesia tidak boleh ada negosiasi, klaim China di Natuna merupakan ancaman besar bagi keamanan di kawasan dan stabilitas ekonomi nasional," ujar Ketua Harian KNTI Dani Setiawan di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus memiliki sikap tegas melihat langkah China di perairan Indonesia. Itu, tidak semata-mata soal wilayah, tapi ada aspek ekonominya.
"Ada aspek ekonomi, mereka mau merebut satu jalur yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), bukan hanya ikan tapi juga migas," katanya.
Saat ini, lanjut Dani, secara sepihak Pemerintah China mengklaim perairan Natuna termasuk termasuk dalam Nine Dash Line.
Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen diklaim China sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah ini berjarak 2.000 kilometer dari daratan China.
Selain itu, lanjut dia, China juga sedang berupaya untuk memperluas pengaruh politik di kawasan Asia Tenggara, salah satunya menggunakan kekuatan militernya.
"Kalau dibiarkan akan jauh lebih berbahaya nantinya, jangan sampai mereka kembali melakukan berulang di mana mereka melakukan klaim sebagai wilayah mereka," katanya.
Sebelumnya, hal senada juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menegaskan wilayah Perairan Natuna tidak bisa dinegosiasikan karena merupakan kedaulatan Indonesia.
"Itu tentu mengikat kepada Perjanjian Juanda dan UNCLOS, jadi itu kedaulatan kita non-negotiable," kata Airlangga di Jakarta, Rabu (8/1).
Baca juga: Menko Airlangga: Perairan Natuna tidak bisa dinegosiasikan
Baca juga: Dirjen KKP tangkap tiga kapal ikan Vietnam di Laut Natuna Utara
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020