"Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimaksudkan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan baik kepentingan terp
Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara dugaan korupsi penghapusan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimaksudkan untuk mengoreksi putusan yang keliru terhadap perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada pihak yang kepentingannya dirugikan baik kepentingan terpidana maupun kepentingan korban tindak pidana yang diwakili negara," kata JPU KPK Haerudin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis.
Sidang dipimpin ketua majelis Rosmina, dengan hakim Saifudin Zuhri dan Jult Mandapot Lumban Gaol, dan dihadiri penasihat hukum Syafruddin, tapi tidak dihadiri Syafruddin.
Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya memutuskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung tidak melakukan tindak pidana pada 9 Juli 2019, sehingga harus dikeluarkan dari rumah tahanan KPK.
Padahal putusan majelis Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 September 2018 menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar.
JPU KPK mengajukan tiga alasan dalam permohonan PK tersebut. Alasan pertama, anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara.
Menurut JPU KPK, salah satu anggota majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara kasasi adalah Syamsul Rakan Chaniago.
"Sebelum perkara diputus di tingkat kasasi berdasarkan Call Data Records (CDR) terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani selaku penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung yaitu pada 13 Juni 2019 pukul 12.43 WIB, 28 Juni 2019 pukul 16.55 WIB," kata JPU KPK Kiki Ahmad Yani.
Baca juga: KPK susun strategi baru kasus BLBI pasca pelanggaran etik hakim MA
Selang satu jam setelah komunikasi terakhir pada 28 Juni 2019 pukul 17.51 WIB, Syamsul Rakan bertemu dengan Ahmad Yani di Cafe Segafredo Plaza Indonesia Jakarta yang terekam dalam CCTV.
Pertemuan antara Syamsul Rakan dan Ahmad Yani dilakukan sekitar 2 minggu sebelum perkara kasasi Syafruddin diputus.
"Tepat satu hari sebelum pertemuan AHmad Yani dan Syamsul Rakan di Plaza Indonesia itu itu, ternyata Ahmad Yani lebih dulu mengunjungi Syafruddin di Rutan KPK pada 27 Juni 2019 dan kemudian pada 2 Juli 2019, Ahmad Yani kembali menemui Syafruddin di Rutan KPK," ujar jaksa Kiki.
Satu minggu setelah pertemuan itu, tepat pada 9 Juli 2019 bersamaan dengan hari terakhir masa penahanan Syafruddin, majelis kasasi memutus perkara tersebut dengan menyatakan perbuatan terdakwa Syafruddin terbukti sebagaimana dakwaan tapi tidak merupakan suatu tindak pidana serta melepaskan terdakwa Syafruddin dari segala tuntutan hukum.
Salah satu alasan diputus tersebut, karena hakim Syamsul berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin bukan tindakan pidana namun merupakan perbuatan perdata.
"Seorang hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidakberpihakan," ujar jaksa Kiki.
Baca juga: ICW dukung KPK berkoordinasi dengan KY tangani kasus korupsi BLBI
Perbuatan hakim Syamsul dinilai JPU KPK yang berkomunikasi dan bertemu dengan Ahmad Yani selaku penasihat hukum Syafruddin telah melanggar pasal 5 ayat 3 huruf e Peraturan bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tentang panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
"Ahmad Yani dan Syamsul Rakan memiliki latar belakang yang sama sebagai advokat/pengacara, selain itu Ahmad Yani pernah terpilih sebagai anggota DPR yang duduk di Komisi III DPR pada 2009-2014. Sedangkan pada 2010, Syamsul Rakan terpilih sebagai hakim ad hoc MA setelah lulus 'fit and proper test' di Komisi III DPR dan di saat yang bersamaan Ahmad Yani merupakan salah satu anggota di Komisi III DPR RI tersebut," ungkap jaksa Kiki.
Pada beberapa media, Ahmad Yani mengaku tidak aktif pada proses kasasi karena fokus pada pemilihan anggota legislatif (pileg) DPR.
"Padahal berdasar bukti kunjungan di Rutan KPK, Ahmad Yani mengunjungi Syafruddin sebanyak 34 kali di Rutan KPK, kemudian untuk kepentingan upaya hukum kasasi, Ahmad Yani menemui Syafruddin sebanyak 6 kali termasuk 27 Juni atau sehari sebelum bertemu dengan Syamsul Rakan di Plaza Indonesia, pada 2 Juli 2019 dan pada 9 Juli 2019 untuk menjemput Syafruddin keluar dari Rutan KPK," kata jaksa Kiki lagi.
Badan Pengawas MA pun telah memeriksa Syamsul Rakan dan putusan bawas mengatakan perbuatan hakim Syamsul Rakan Chaniago telah melanggar prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim.
"Berdasarkan uraian di atas hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago telah melanggar kode etik dan perilaku hakim dengan sengaja bertemu dengan pihak berperkara yaitu Ahmad Yani selaku penasihat hukum Syafrudin Arsyad Temenggung yang sedang mengajukan kasasi untuk perkaranya ditangani hakim Syamsul Rakan, padahal seorang hakim harus memegang teguh prinsip imparsialitas agar terhindar dari benturan kepentingan dalam memutus perkara," kata jaksa Kiki pula.
Alasan kedua adalah terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
Pada amar putusannya, majelis hakim menyatakan perbuatan Syafruddin terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana yang bertentangan dengan pertimbangan putusan dimana majelis hakim justru menguraikan fakta-fakta yang pada pokoknya Syafruddin tidak melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan.
"Pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan majelis hakim hanya mengambil dalil-dalil yang diuraikan terdakwa melalui kuasa hukum sedangkan fakta-fakta yang dikemukakan penuntut umum yang diuraikan surat tuntutan dan sudah dinyatakan terbukti dalam putusan Pengadilan Tipikor PN Jakpus dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI justru dikesampingkan dan tidak dipertimbangkan majelis hakim. Dengan adanya kontradiksi antara amar putusan dan pertimbangan hakim hal ini merupakan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dan merupakan alasan PK sebagaimana pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP," kata JPU KPK Ferdian Adi Nugroho.
Alasan ketiga adalah anggota majelis hakim melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA.
Baca juga: KPK disarankan lakukan gugatan perdata dalam kasus BLBI
Rapat pleno kamar MA, menurut JPU KPK memutuskan hakim Salman Luthan berpendapat dakwaan terbukti dan perbuatan terdakwa adalah tindak pidana, hakim Syamsul Rakan Chaniago berpendapat dakwaan terbukti tapi perbuatan Syafruddin adalah perbuatan perdata, hakim Mohamad Askin berpendapat dakwaan terbukti tapi perbuatan Syafruddin adalah perbuatan administrasi.
"Masing-masing hakim memiliki pendapatnya sendiri dan berbeda satu sama lain. Ketika putusan tidak ada suara mayoritas dari majelis hakim, mengacu pada jenis putusan yang dijelaskan mantan hakim agung Artidjo Alkostar, perbedaan putusan dalam perkara kasasi Syafruddin tidak termasuk ke dalam salah satu jenis perbedaan putusan yaitu unanimous (putusan berdasarkan suara bulat), concurring opinion (hakim mengikuti pendapat hakim mayoritas), dissenting opinion (hakim berbeda pendapat dengan hakim mayoritas), tetapi perkara tersebut tetap diputus," ungkap jaksa Ferdian.
Berdasarkan alasan tersebut, JPU KPK berpendapat bahwa dalam putusan kasasi terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, sehingga putusan perlu dikoreksi dan diperbaiki.
"Maka kami mohon supaya Yang Mulia Majelis Hakim Peninjauan Kembali pada MA memutuskan, pertama menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa/pemohon PK. Dua, membatalkan putusan kasasi MA pada 9 Juli 2019 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2 Januari 2019. Ketiga, menyatakan termohon PK Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Keempat, menjatuhkan pidana terhadap termohon PK Syafruddin Arsyad Temenggung sebagaimana putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kelima menghukum Syafruddin selaku termohon PK membayar biaya perkara," kata jaksa Ferdian.
Atas permohonan itu, tim penasihat hukum Syafruddin akan membuat kontra memori PK yang akan dibacakan pada Kamis, 16 Januari 2020.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020