Surabaya (ANTARA News) - Lakon teater berjudul "Tikungan Iblis" karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bakal dipentaskan oleh Teater Dinasti bersama komunitas Kiai Kanjeng di Gramedis Expo, Surabaya, pada Rabu (19/11). Panitia pementasan, Rahmat Rudianto, kepada ANTARA News di Surabaya, Senin malam, menjelaskan bahwa lakon yang sebelumnya dipentaskan di Yogyakarta itu bercerita tentang iblis yang selama ini selalu dicap salah oleh manusia. "Padahal, sebetulnya menurut lakon ini, iblis itu bukan makhluk yang patut disalahkan oleh manusia. Dia memang makhluk Tuhan yang sudah diseting sedemikian rupa pada posisi yang seperti itu," katanya. Menurut cerita itu, katanya, kalau manusia selalu menyalahkan iblis setiap melakukan kesalahan, maka hal itu menunjukkan kerendahan dari manusia itu sendiri. Karena itu, Cak Nun dalam karya teaternya ingin memberi wejangan bahwa sudah sepatutnya manusia bermawas diri. "Hal kedua yang ingin disampaikan Cak Nun adalah mengenai Indonesia yang saat ini mengalami degradasi dalam berbagai bidang. Pada awal penciptaan negeri kan disimbolkan dengan burung garuda yang memiliki kekuatan dan potensi besar," katanya. Namun, katanya, kondisi Indonesia saat ini bukan lagi burung garuda, melainkan menjadi burung emprit. Oleh karena itu, "Tikungan Iblis" dalam serangkaian dialog di pementasan terlihat bahwa manusia, khususnya di Indonesia, tidak usah menyalahkan iblis. "Salah manusia Indonesia itu sendiri, karena sudah diberi potensi seperti burung garuda kok sekarang malah menjadi emprit," katanya menambahkan. "Tikungan Iblis" yang berpentas di Surabaya bakal didukung pula komunitas BangBang Wetan dan Dewan Kesenian Surabaya (KDS) itu, dan disutradarai Fajar Suharno dan Jujuk Prabowo, selain tata musik oleh Robiet Santosa dan Kiai Kanjeng. Aktor pendukungnya adalah, Joko Kamto, Novi Budianto, Tertib Suratno, Jemek Supardi, Eko Winardi, Cithut DH, Seteng, Bambang Susiawan, Untung Basuki dan puluhan aktor muda lainnya. Penata multi media adalah, Ipung Wai Ming dengan didampingi kontributor gagasan dari aktivis LSM Fauzie Ridjal dan Toto Rahardjo. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008