Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat meradang karena harga gas industri masih mahal atau tak kunjung turun, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai infrastruktur jaringan menjadi salah satu penyebabnya.
"Saya kira Indonesia masih belum memiliki jaringan pipa gas yang memadai dengan kebutuhan yang ada, sehingga hal tersebut membuat gas industri masih tinggi harganya," kata Fahmy kepada Antara di Jakarta, Rabu.
Wilayah Indonesia tergolong luas, dan gas industri tidak mungkin didistribusikan melalui transportasi darat, harus menggunakan pipa gas. Sedangkan perusahaan yang berinvestasi dalam jaringan gas hanya milik BUMN, hal itu yang membuat jaringan pipa gas untuk industri masih terbatas.
Adapun Pertagas yang bersinergi dengan PGN yang memiliki pipa gas juga mengambil margin dari asetnya, hal itu juga menambah harga menjadi tinggi.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, gas Indonesia tergolong masih kompetitif dengan harganya, namun melihat pasokan sumber gas di Indonesia yang masih melimpah dibandingkan negara lain, seharusnya gas industri masih bisa ditekan lagi harganya.
Presiden Joko Widodo memberi waktu tiga bulan bagi kabinetnya untuk mengatasi persoalan tingginya harga gas industri guna mendorong daya saing produk Indonesia.
"Istilahnya mungkin apa yang menyebabkan harga gas menjadi mahal. Ini yang harus kami luruskan supaya 'reasonable' dan bermanfaat untuk negara," kata Menteri Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif terkait "pemain gas" yang "disindir" Presiden dalam rapat di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta.
Presiden telah mengumpulkan menteri dan sejumlah institusi terkait migas untuk membahas upaya penyesuaian harga gas industri dalam rapat terbatas di Kantor Presiden.
Presiden mengusulkan tiga upaya untuk menurunkan harga gas industri yakni penyesuaian jatah gas pemerintah 2,2 US dolar per MMBTU agar harga gas lebih murah, lalu pemberlakuan "Domestic Market Obligation" (DMO) bagi gas diberikan kepada industri, serta opsi ketiga yakni membebaskan impor gas untuk industri.
Terkait hal itu, Arifin menjelaskan pihaknya akan memberi kepastian tentang upaya penurunan harga gas industri yakni pada awal kuartal 2020.
Sementara itu Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan institusinya akan mempertimbangkan opsi yang terbaik untuk menyesuaikan harga gas industri.
Menurut Dwi opsi pertama, yakni penyesuaian jatah gas pemerintah, dapat berdampak kepada penurunan pendapatan negara. "Tentu harus ada kenaikan pajak di sektor lain," ungkap Dwi.
Sementara opsi impor gas untuk industri dapat berdampak kepada melonjaknya defisit neraca perdagangan dari sektor migas, tambah Dwi.
Selain itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan Presiden memerintahkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi untuk dilaksanakan.
"Diberikan waktu sampai kuartal pertama 2020 ini untuk bisa dijalankan dengan harga 6 dolar AS per MMBTU," jelas Pramono.
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020