Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Politik Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. DR. Djohermansyah Djohan mengusulkan aturan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan terpisah dari UU tentang Pemilihan Daerah. "Pengaturan Pilkada sebaiknya dikeluarkan dari Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan diatur dalam undang-undang sendiri khusus untuk pilkada," kata Djohermansyah pada pidato pengukuhan guru besarnya di IPDN Jakarta, Sabtu. Menurut Djohermasyah pengaturan khusus soal pilkada diperlukan agar bisa menempatkan persoalan pilkada secata tepat dan bisa diatur rinci. Ia juga mengusulkan pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak. "Saya juga mengusulkan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah satu paket atau secara berpasangan dihapus saja, karena tidak dikenal dalam UUD 1945," kata Deputi Bidang Politik Sekretaris Wakil Preseiden tersebut. Pemisahan perlu dilakukan mengingat tingginya konflik setelah mereka menduduki jabatan, sementata Wakil Kepala Daerah sebaiknya tidak dipilih tetapi diusulkan Kepala Daerah terpilih dari PNS yang memenuhi syarat. "Untuk daerah besar, Wakil Kepala Daerah bisa lebih dari satu. Sedangkan untuk daerah kecil, tidak diperlukan Wakil Kepala Daerah," kata Djohermansyah. Pilkada langsung adalah keputusan poltik terbaik dan walaupun muncul banyak masalah, hendaknya jangan diubah kembali menjadi pemilihan tidak langsung oleh DPRD apalagi pengangkatan oleh Presiden. Dalam orasi ilmiah bertopik "Pemerintahan Daerah di Era Reformasi: Perjalanan Mencari Format Demokrasi Lokal", Djohermansyah mengajukan pertanyaan tentang apakah otonomi daerah itu berkah atau musibah ?. "Berkah utama dari otonomi daerah adalah mimpi pemerintahan daerah bersendikan demokrasi di mana rakyat memilih sendiri pemimpinnya lewat pilkada langsung," kata Djohermansyah. Selama tiga tahun, sudah dilaksanakan 440 pilkada meliputi 33 pilkada gubernur, 328 pilkada bupati dan 79 pilkada walikota. Pilkada langsung memunculkan berbagai persoalan seperti politik uang, rendahnya partisipasi masyarakat, jeleknya penyelesaian sengketa pilkada, pecahnya kongsi kepala daerah dan wakil kepala daerah. "Akar masalah pilkada kita tersebut tidak lain karena kurang apiknya desain pilkada, baik dalam konstitusi UUD 1945 maupun UU 32 tahun 2004 tentng pemerintahan daerah," sitirnya. Hal itu terjadi karena banyaknya aturan yang tidak jelas, tumpang tindih, multitafsir, tidak rinci, saling bertentangan, tidak lengkap, tidak antisipatif dan tidak konsisten. "Hal terburuk lainnya adalah kurang beresnya penyelenggaraan pilkada, rendahnya kompetensi serta integritas petugas, kacaunya tata cara pertanggungjawaban, borosnya biaya dan lemahnya kesadaran politik pemilih," kata Djohermansyah. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008