“Jadi, kenapa kalau dasar dari pengupahan itu per jam bisa lebih baik bagi industri ? karena sudah ada kepastian dan juga sudah ada ukuran produktivitasnya dari masing-masing pekerja yang mereka hire,” kata Agus di Jakarta, Senin.
Agus menyampaikan, suatu industri dapat berdaya saing salah satunya jika harga gas yang diperoleh industri dapat terjangkau. Selain itu, industri mampu mengukur produktivitas dari tenaga kerjanya sendiri.
“Cara paling gampang mengukur produktivitas nya itu, tentu dari pengupahan yang berdasarkan jam. Tinggal diatur saja berapa upah per jamnya. Tentu tidak merugikan pekerja itu sendiri, tinggal diatur saja kok, tidak ada masalah,” ujar Agus.
Baca juga: Menperin: Penerapan upah per jam pacu investasi dan lapangan kerja
Agus menilai, pengupahan per bulan yang selama ini dilakukan lebih terkesan tidak adil, karena pegawai yang bekerja lebih panjang waktunya dengan yang lebih pendek waktunya mendapat upah yang sama.
Selain itu, perusahaan tidak bisa menghitung secara tepat dan detail berkaitan dengan produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri.
“Karena ada yang kerja 20 hari, ada yang kerja 15 hari, ada yang kerja 24 hari, gajinya sama,” ungkap Menperin.
Menperin menyampaikan, upah per jam telah diterapkan di beberapa negara industri, salah satunya Amerika Serikat.
Baca juga: Menperin: Industri 4.0 tak hilangkan serapan tenaga kerja
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020