Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Standard Chartered Bank (SCB), Fauzi Ichsan, memperkirakan bahwa dolar AS akan tetap mahal selama masalah perbankan di AS belum diselesaikan oleh AS.
"Persoalan inti depresiasi mata uang regional, termasuk rupiah, adalah pasokan dolar AS yang berkurang di pasar global," kata Fauzi, seusai paparan Economic Outlook 2009: Peluang Investasi di Tahun Politik, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, sebelum aset-aset perbankan yang sebelumnya menjadi agunan nasabah diambil oleh pemerintah, seperti di Indonesia waktu itu diambil alih BPPN, maka sulit bagi perbankan AS untuk memasok kembali dolar As ke pasar internasional.
Ia menyebutkan, untuk sementara yang bisa dilakukan adalah membatasi pembelian dolar AS seperti yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
"Mungkin ini efektif untuk meredam spekulasi, tapi kan di pasar ada dua sisi yaitu pasokan dan permintaan, saat ini yang bermasalah adalah dari sisi pasokan, yang bisa dilakukan BI dan pemerintah mungkin adalah membatasi pembelian dolarnya, walaupun tidak bisa membatasi secara tajam karena ada sistem devisa bebas," jelasnya.
Menurut dia, kurs itu sudah merupakan masalah global, sehingga perlu dicari solusi global bersama, termasuk melalui pertemuan G-20.
"Ini perlu solusi global, harus ada kebijakan terpadu fiskal dan moneter untuk mengatasi masalah itu," tegasnya.
Menanggapi usulan perlunya BI menurunkan BI Rate untuk mendorong sektor riil, Fauzi mengatakan, kalau diturunkan justru akan membuat rupiah semakin tidak menarik, rupiahnya bisa semakin rentan berfluktuasi.
Ia mengakui ada wacana yang cukup bagus untuk menghentikan depresiasi rupiah yaitu menarik kembali dana orang Indonesia yang ada di luar negeri yang diperkirakan lebih dari 800 miliar dolar AS tersebut agar kembali ke Indonesia untuk memperbesar pasokan dolar AS di dalam negeri.
"Tapi masalahnya banyak seperti ada tuntutan pemberlakuan tax amnesty, pengusaha minta keringanan pajak, dan lain-lain, jadi ini bukan sesuatu yang mudah," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008