Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima gugatan terhadap UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat karena tidak memiliki kewenangan menilai keabsahan tindakan Majelis Umum PBB yang mengeluarkan Resolusi 2504.
Dalam sidang pengucapan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan UU Nomor 12 Tahun 1969 merupakan tindak lanjut dari hukum internasional, yakni Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dilaksanakan di bawah pengawasan PBB, kemudian diakui melalui Resolusi PBB 2504.
"Artinya 'memaksa' Mahkamah untuk menilai keabsahan tindakan PBB incasu Majelis Umum. Mahkamah jelas tidak memiliki kewenangan demikian, jangankan Mahkamah, bahkan Mahkamah Internasional pun," tutur Hakim Palguna.
Selain itu, pemohon yang merupakan Dewan Adat Papua, Solidaritas Perempuan Papua dan Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua (Kingmi) itu dinilai tidak memiliki kedudukan hukum.
Hakim Palguna menuturkan produk hukum yang menyangkut pembentukan daerah, dalam hal ini Provinsi Irian Barat, adalah sah dan final. Namun, apabila terdapat persoalan terkait konstitusional, yang dapat mewakili kepentingan masyarakat provinsi tersebut adalah pemerintah daerah, yakni kepala daerah dan DPRD.
"Menimbang bahwa oleh karena permohonan tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas dan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih jauh pokok permohonan para pemohon," kata Hakim Palguna.
Pemohon merasa bahwa Penjelasan Umum Paragraf 7 dan 8 serta frasa "menimbang" dalam UU Pembentukan Otonom Irian Barat, bertentangan dengan UUD 1945. Mereka menyoal pelaksanaan dan keputusan Pepera yang hanya diikuti sejumlah orang dalam Dewan Musyawarah Pepera sehingga tidak sejalan dengan UUD 1945.
Selain itu, pemohon menilai UU Pembentukan Otonom Irian Barat berakibat pada ketimpangan ratifikasi New York Agreement yang disepakati pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Baca juga: Telat ajukan pemberitahuan ahli, sidang soal otsus Papua di MK ditunda
Baca juga: Anggota DPD: Evaluasi otonomi khusus Papua harus terbuka
Baca juga: Presiden Jokowi: Belum ada usulan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020