Jakarta (ANTARA News) - Gaji pokok pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia jauh dari mencukupi dan pelaksanaan sistem remunerasi bagi PNS juga kurang memacu kinerjanya atau kurang berfungsi sebagai bagian dari "reward system" (pemberian penghargaan), demikian hasil kajian peserta pendidikan dan latihan (Diklatpim) tingkat I angkatan XVI, Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Menurut hasil kajian peserta Diklatpim yang didiskusikan di Jakarta, Selasa, memang di samping gaji pokok, PNS dilengkapi dengan tunjangan, tetapi hal itu hanya diterima apabila seseorang menduduki jabatan struktural atau fungsional.
Kebijakan pemerintah memberikan tunjungan adalah untuk memberikan motivasi agar PNS bekerja dengan kinerja tinggi. Tetapi ketika seorang PNS tidak menduduki jabatan dan terutama ketika sudah usia pensiun maka daya belinya menjadi rendah sekali.
Oleh sebab itu, kata peserta diklat yang terdiri dari pejabat eselon I, diperlukan sebuah transformasi sistem kebijakan penggajian PNS yang mampu mencukupi kebutuhan dasarnya. Salah satu strategi yang paling mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan PNS adalah memberikan gaji pokok yang memadai, dan oleh sebab itu gaji pokok harus dinaikkan sesuai dengan kondisi realitas.
Kajian itu juga menyebutkan, dalam UU No.43 tahun 1999, diamanatkan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaannya. Gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Rumusan ini menunjukkan bahwa sistem penggajian yang dianut dalam UU adalah sistem merit dalam rangka memacu kinerja pegawai.
Namun, menurut mereka, dalam implementasinya, sistem remunerasi yang berlaku bagi PNS kurang memacu kinerjanya atau dengan kata lain kurang berfungsi sebagai bagian dari "reward system".
Hal itu karena besarnya gaji pokok belum memenuhi kebutuhan hidup layak sehingga menjadi pendorong terjadinya penyimpangan, gaji kurang kompetitif dengan swasta, gaji tidak memenuhi prinsip kesamaan karena tidak dikaitkan dengan bobot jabatan, kompetensi dan kinerja, tapi masih didasarkan pada pangkat dan masa kerja.
Selain itu struktur gaji pokok kurang ideal karena rasio perbandingan gaji terendah dengan tertinggi terlalu kecil yaitu hanya 1:3,2, sehingga dianggap tidak adil apabila ditinjau dari aspek beban kerja dan tanggungjawab.
Komponen remunerasi di luar struktur gaji dan tunjangan jabatan yang diberikan oleh berbagai instansi seperti tunjangan khusus, tunjangan kinerja, tunjangan kesejahteraan dan lainnya tidak terstandar sehingga terjadi distorsi dalam sistem penggajian, serta jabatan yang setara dan sejenis dengan instansi yang berbeda dapat mengakibatkan demotivasi pegawai.
Oleh sebab itu, pada tahan pertama, mereka mengusulkan menyusun sistem remunerasi yang adil dan layak antara lain dengan cara menetapkan model struktur gaji berdasarkan bobot jabatan dan klasifikasi jabatan, mengaitkan sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja untuk memacu produktivitas dan motivasi kerja, dan mengintegrasikan honor-honor dan penghasilan di luar gaji.
Tahap kedua, adalah menekan jumlah PNS dengan menyerahkan kegiatan/pekerjaan tertentu yang dapat dikerjakan oleh pihak lain maka diserahkan kepada pihak ketiga.
Diminta tanggapannya, Bupati Teluk Wondama, Papua Barat, Dr Alberth H Torey, MM, yang juga menjadi peserta Diklatpim mengatakan, bahwa ia sudah berupaya untuk meningkatkan pendapat pegawainya.
Ia mengatakan, di instansinya, setiap pegawai yang mempunyai prestasi yang baik maka diberikan penghargaan yang baik pula.
Hal itu, katanya, untuk memajukan kinerja pegawai serta agar mereka mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Sedangkan Wakil Ketua Indonesia Corruption Watch, Danang Widiyoko setuju ada perbaikan sistem penggajian bagi PNS. Sebagai contoh, PNS yang masa kerjanya 30 tahun namun gaji pokoknya tetap kecil serta adanya ketimpangan lainnya.
Ia berharap jika gaji PNS tinggi maka sumber daya manusia terbaik tertarik menjadi PNS. "Jika tidak ada insentif, lulusan terbaik (dari lembaga pendidikan) akan lebih suka bekerja di swasta. Akhirnya SDM yang menjadi PNS hanya SDM kelas II, katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008