Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mengemukakan bahwa tidak berambisi dengan kekuasaan, namun niatnya untuk bersedia maju menjadi salah satu calon presiden pada 2009 adalah ingin mengabdi kepada rakyat. "Saya tak ambisi untuk merebut kekuasaan, saya hanya mau mengabdi. Karena itu saya tidak menyiapkan kendaraan politik. Kalau rakyat membutuhkan saya, mestinya parpol mau melakukan lobi untuk mendukung saya," katanya di Jakarta, Senin malam. Hal tersebut ditegaskan Sultan ketika menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertema "Kawasan Timur Cari Presiden Baru 2009" yang diselenggarakan Gerakan Solidaritas Kebangkitan EkonomiA Kawasan Timur Indonesia (TATA KTI). Selain HB X, pembicara lain dalam diskusi tersebut antara lain mantan Menko Ekuin Rizal Ramli, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, dan staf ahli Menteri Pertanian Iskandar A. Nuhung. Bertindak selaku moderator dalam acara itu adalah Presiden TATA KTI Zainal Bintang. Sultan HB X mengatakan, dirinya tidak berani mengatakan lebih baik dari calon presiden yang lain. "Tetapi, apa artinya calon presiden yang bilang ingin merubah, tapi rakyatnya tidak berubah. Mestinya tanya ke rakyat apakah mau brubah, kalau mau maka carilah pemimpin yang membawa perubahan. Pemimpin itu harus mau berubah, memihak ke rakyat," katanya. Sultan HB X mengemukakan, dirinya memberanikan diri untuk maju menjadi calon presiden, karena sudah tidak tahan lagi menghadapi reformasi yang sudah 10 tahun berjalan namun tidak menghasilkan perubahan apa-apa. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin yang bicara Indonesia, yakni yang mengerti keadaan rakyat sehingga mampu membangun rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sultan HB X mengatakan, mantan Presiden Soekarno merupakan "orang Jawa yang meng-Indonesia", karena tidak berhasil membangun rasa adil bagi bangsanya, sehingga muncul pemberontakan PRRI Permesta. Sementara itu, ia pun menilai, mantan Presiden Soeharto juga "orang Jawa yang meng-Indonesia", karena menerapkan pola sentralistik, tidak boleh beda, sehingga terjadi Jawanisasi. "Untuk tidak mengulang itu, carilah pemimpin yang namanya Indonesia, yang mengerti keadaan rakyat, membangun kerukunan bangsa, tidak membedakan satu sama lain, sehingga semua merasa terlindungi, terayomi dan merasa diperlakukan adil," katanya. Sultan HB X berharap, pemimpin mendatang mau mengubah strategi dalam kebijakan yang tadinya bersifat kontinental menjadi bersifat maritim. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008