Surabaya (ANTARA News) - Perlawanan heroik nan besar-besaran arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu demi mengusir tentara Belanda (NICA) yang memboncenginya dan berhasrat menjajah kembali Indonesia, membuat Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan. Ironisnya, sebagai Kota Pahlawan, hingga awal Nopember 2008, Surabaya belum memiliki seorang pun Pahlawan Nasional, padahal peristiwa 10 Nopember 1945 adalah bukti tak terbantahkan bahwa banyak warga Surabaya layak digelari Pahlawan Nasional. Salah seorang yang paling menonjol, tentu saja adalah Sutomo atau Bung Tomo. Ia adalah ikon Surabaya. Gaya khas pidatonya yang membara penuh semangat membakar arek-arek Suroboyo untuk bertempur menyingkirkan NICA. Pidatonya telah mengobarkan perjuangan rakyat Surabaya mengusir kembali penjajah dari bumi pertiwi. Seruan heroik Bung Tomo di radio untuk menentang Belanda ditulis dengan tinta emas pada sejarah perjuangan panjang Indonesia dalam melepaskan diri dari kolonialisme. Dalam buku-buku sejarah, Bung Tomo adalah tokoh sentral pertempuran 10 Nopember 1945. Sayang, tokoh yang tak diragukan lagi sangat berperan dalam peristiwa itu belum diakui pemerintah sebagai pahlawan nasional. Kini, setelah 63 tahun Pertempuran 10 Nopember yang kemudian disebut dengan Hari Pahlawan itu, Kota Pahlawan akhirnya benar-benar mempunyai pahlawan nasionalnya sendiri. Ya, pejuang asal Surabaya itu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah, tepat di Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember ini. Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh kepada wartawan di Surabaya, Minggu (2/11), mengungkapkan rencana itu dengan rinci. "Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Tomo adalah kabar baik bagi masyarakat Surabaya khususnya dan Jawa Timur pada umumnya, menjelang peringatan Hari Pahlawan," kata mantan Rektor ITS yang asli arek Suroboyo tersebut. Bung Tomo menjadi salah seorang dari beberapa tokoh nasional yang akan menerima gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah, langsung diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh yang lahir di Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920 ini berarti mengakhiri polemik berkepanjangan mengenai patut tidaknya dia menyandang gelar Pahlawan Nasional. Usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pernah disampaikan beberapa kali kepada pemerintah, tetapi tidak pernah disetujui. Keluarga besar Bung Tomo sendiri tidak mempermasalahkan perlu tidaknya Bung Tomo diberi gelar Pahlawan Nasional. "Saya tidak tahu, mengapa gelar ini tidak diberikan sejak dulu. Bagi saya itu bukan persoalan, karena yang penting sekarang Bung Tomo sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional," kata Nuh. Menkominfo mengatakan, ada beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum seorang tokoh mendapat gelar Pahlawan Nasional, diantaranya tokoh itu diusulkan sekelompok masyarakat kepada pemerintah provinsi untuk kemudian diteruskan kepada Departemen Sosial. "Dari Depsos, usul disampaikan kepada tim pemberi anugerah jasa-jasa nasional untuk ditindaklanjuti. Kalau dianggap layak dan sesuai persyaratan, maka tokoh itu akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional," jelasnya. Ia menambahkan, presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan gelar kepada seseorang yang dianggap berjasa kepada bangsa dan negara. "Tapi semuanya tetap melalui prosedur dan mekanisme yang berlaku." Kritis Keluarga menilai, sikap kritis Bung Tomo terhadap semua rezim yang berkuasa di Tanah Air selama dia hidup, dari Orde Lama Soekarno sampai Orde Baru Soeharto, adalah penyebab Bung Tomo tidak diakui sebagai Pahlawan Nasional. Pertemanannya dengan Proklamator RI, Soekarno, memburuk setelah keduanya bertengkar hebat. Saat itu, dalam upaya mengingatkan pemimpinnya, Bung Tomo menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi kepada Bung Karno. Namun, pertanyaan itu malah membuat Bung Karno tersinggung. Hubungan dengan Soeharto pun memburuk setelah Bung Tomo terang-terangan mengkritik kebijakan ekonomi Soeharto yang mengabaikan pemerataan. Ceramah Bung Tomo yang kritis di berbagai kampus dianggap menyudutkan pemerintah sehingga ia dipenjarakan selama setahun oleh pemerintah sejak 11 April 1978. Berbagai jabatan kenegaraan penting pernah diembannya, seperti Menteri Negara urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial ad interim pada 1955-1965 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 mewakili Partai Rakyat Indonesia. Sikap kritis dan kepahlawanan Bung Tomo dibawanya hingga akhir hayat saat menunaikan ibadah haji tahun 1981. Bung Tomo berpesan untuk tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena baginya pemakaman itu banyak diisi "pahlawan kesiangan". Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Indonesia pada 1982 untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya. Putra tertua Bung Tomo, H.M. Bambang Sulistomo Sip. MSi, pada seminar "100 tahun Kebangkitan Nasional" di RRI Surabaya pada 24 Mei 2008 bertutur, "Sejarah yang sudah tercemar oleh persaingan dan konflik kepentingan dari kekuatan politik, akhirnya hanya melahirkan tokoh pejuang atau bahkan gelar pahlawan hasil rekayasa politik". Menurut dia, untuk menilai seorang tokoh, kelompok atau golongan yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, diperlukan sebuah tim independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan politik dan kepentingan politik rezim berkuasa. Dia mengatakan, gelar pahlawan yang diberikan kepada seorang tokoh seharusnya didasarkan kepada "sikap kepahlawanan" seseorang itu selama hidupnya dan selama membaktikan dirinya kepada rakyat dan bangsanya. Dan tokoh itu tak semestinya dicampakkan hanya gara-gara menolak berbakti pada satu rezim penguasa. Seorang tokoh pejuang yang kemudian mendapat gelar pahlawan seharusnya adalah seorang warganegara yang selama hidupnya secara konsisten menunjukkan sikap lurusnya membela kepentingan rakyat dan bangsanya. Dan seseorang itu bisa saja lahir dengan berlatarbelakangkan pendidikan, ideologi, kelas masyarakat dan budaya apapun. Sejarah yang benar adalah sejarah yang tidak mengajarkan atau berisi diskriminasi terhadap tokoh, kelompok, golongan, aliran, agama, etnis, ideologi atau peristiwa apapun. "Sejarah yang benar, baik itu dirasakan manis atau pahit, akan menjadi pegangan bagi generasi berikutnya untuk mempertahankan keberadaan dan kelangsungan nilai serta norma budaya dari negara, rakyat dan bangsanya," kata Bambang Sulistomo. (*)

Oleh Oleh Chandra HN Ichwani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008