Surabaya (ANTARA News) - Keterkaitan antara dunia teknologi dan perkembangan masyarakat dikupas dalam buku "Teknologi & Masyarakat" yang baru diluncurkan oleh Prof.Dr.(HC) Ir.Rahardi Ramelan, MSc.
Buku setebal 500 halaman dan disusun selama dirinya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang Jakarta ini dibahas dalam diskusi dan bedah buku di Rektorat Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Jumat.
"Beruntung saya boleh bawa laptop, jadi masih bisa aktif menulis dan mengirim beberapa artikel ke media cetak," kata Rahardi Ramelan.
Menurut dia, arus globalisasi menjadi sorotan utama dalam buku ini. Rahardi mencoba menyodorkan pertanyaan-pertanyaan besar. "Apakah kita mempunyai budaya bersaing di era globalisasi? Apa kita juga masih memegang budaya ikut-ikutan tren?" tanyanya kepada para hadirin.
Ia mengakui bahwa Indonesia belum bisa melindungi diri dari dampak negatif globalisasi. Karena semakin bebasnya negara ini dimasuki oleh asing. "Bahkan melamin dalam produk makanan China pun bisa bebas masuk," kata mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI ini sambil tersenyum.
Industrialisasi secara tidak langsung menyebabkan perubahan arus budaya. Ia menambahkan bahwa iptek juga termasuk bagian dari budaya. Sehingga perkembangan iptek harus sejalan dengan industrialisasi.
"Hal itu semua bergantung pada kreatifitas dan kemandirian masing-masing," kata Rahardi yang juga Guru Besar Teknik Mesin ITS ini.
Ia mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki orang-orang yang punya "techno-ideology". Bagaimana cara mereka membangun teknologi dan industri dengan ideologi nasionalisme. Tapi sayangnya, menurut pria berambut gondrong ini, di kalangan elit politik Indonesia saat ini tidak ada lagi seorang tekno nasionalis. "Padahal yang disebut kemajuan industri adalah ketika kita sudah mencintai produk kita sendiri," katanya.
Namun, ia menyadari bahwa globalisasi tidak hanya merasuki bidang ekonomi saja. Tapi menurutnya, semua bidang sudah dikendalikan secara global. Ia pun menyesalkan campur tangan asing atau negara-negara maju yang mengendalikan "World Trade Organisation" (WTO).
Rahardi menilai bahwa industri di Indonesia yang sudah dibangun sejak lama, hancur lebur di kala masa-masa krisis moneter 1998. Ia mengambil contoh IPTN, industri penerbangan kebanggaan Indonesia ini jatuh gara-gara campur tangan IMF dan WTO di Indonesia. "Saya sudah kapok menghadapi WTO, mereka ini kejam sekali!" katanya.
Bedah buku ini juga menghadirkan dua pembahas, yaitu Prof Dr.Ir Widi Agus Pratikto MSc (Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan) dari sisi teknologi dan Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA (Sosiolog Unair) dari sisi sosial.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008