Jakarta, (ANTARA News) - Kalangan dunia usaha menilai Bank Indonesia (BI) terlalu konservatif dengan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 9,5 persen, padahal tekanan inflasi sudah menurun. "Kebijakan mempertahankan BI Rate memaksa dunia usaha semakin sulit bergerak," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi ketika dihubungi ANTARA, di Jakarta, Kamis. Pada Kamis (6/11), Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan BI rate tetap 9,5 persen dengan alasan untuk menjaga kebijakan moneter yang tepat dan terjadinya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter. Menurut Sofyan, dirinya tidak mengerti alasan BI tidak menurunkan suku bunga padahal tekanan inflasi jelas-jelas sudah mulai mereda. BI juga tidak bisa beralasan mempertahanakan buku bunga karena cadangan devisa sudah menurun atau masuk kategori mengkhawatirkan. "Cadangan devisa menurun saat ini lebih karena intervensi BI pasar uang, bukan untuk membiayai impor barang-barang modal dunia usaha," ujarnya. Padahal, katanya, dunia usaha saat ini efektif tidak bisa bergerak karena biaya yang semakin melonjak akibat tingginya bunga kredit yang mencapai kisaran 15-18 persen. "Jangankan untuk ekspansi usaha, mempertahankan bisnis yang ada saja cukup sulit. Kondisi saat ini juga membuat barang-barang manufaktur sulit bersaing di dalam negeri maupun di luar negeri," tegasnya. Hal senada diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Thomas Darmawan. Keputusan BI tidak menurunkan suku bunga menurut Thomas, sesungguhnya makin menambah beban perusahaan terutama yang memiliki utang dalam jumlah besar. "Akan tetapi pertimbangan BI tersebut bisa saja didasarkan pada kebijakan jangka panjang untuk menghindari tekanan ekonomi yang lebih besar," katanya. Menurutnya, dalam situasi seperti sekarang ini terutama di tengah krisis keuangan global yang dampaknya mulai terasa terhadap ekonomi sejumlah negara, dibutuhkan langkah yang bisa mengakomodasi semua sisi. Ia menambahkan, kondisi ekonomi Indonesia dan sejumlah negara berbeda-beda.Ia mencontohkan, bank sentral di sejumlah negara berlomba menurunkan suku bunga, berbeda dengan Indonesia yang telah menaikkan suku bunga enam kali sejak Januari-Oktober 2008, sebelum dipertahankan pada 9,5 persen. Akan tetapi Thomas berpendapat, kalaupun BI belum berani menurunkan suku bunga sebaiknya pemerintah dapat membantu dunia dengan instrumen pajak seperti menurunkan pajak deposito, restitusi PPn BM, maupun memperlonggar likuiditasi. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008