Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa posisi cadangan devisa saat ini dalam kondisi tidak mengkhawatirkan dan masih cukup untuk memenuhi kebutuhan impor lebih dari empat bulan. "Posisi 51 miliar dolar AS sudah cukup besar dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, kalau dihitung dengan bulan impor, itu sekitar empat bulan lebih sedikit," kata Deputi Gubernur BI, Hartadi A. Sarwono, saat ditemui di Gedung Djuanda I Depkeu, Jakarta, Kamis. Menurut Hartadi, bukan hanya Indonesia saja yang melakukan dukungan terhadap foreign exchange market, tetapi semua negara melakukan itu sehingga cadangan devisanya mengalami penurunan signifikan. "Semua negara merasa perlu melakukan itu karena dolar AS terkontraksi besar," katanya. Kondisi tersebut, lanjutnya, ditambah dengan adanya utang-utang yang biasanya jatuh tempo pada bulan di akhir tahun sehingga BI perlu membantu masyarakat. Selain itu, BI juga menurunkan giro wajib minimum valas sehingga sebagian valas bank-bank umum yang ada di BI juga keluar. "Penurunan seperti itu sudah terjadi sementara pemasukan dari ekspor untuk memupuk cadangan devisa tidak terlalu besar antara lain karena harga minyak yang turun," katanya. Menurut dia, kondisi itu menyebabkan adanya penurunan devisa yang cukup besar dibanding bulan-bulan sebelumnya, yang tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga seluruh regional. Hartadi menegaskan, posisi cadangan devisa saat ini tidak mengkhawatirkan hingga akan tercapai titik ekuilibirum baru. "Ekuilibrium ini nantinya juga akan menyebabkan penyesuaian/penurunan impor karena pertumbuhan dunia menurun dan harga komoditas ekspor turun. Waktu mencapai ekuilibrium baru, impor pasti menurun," katanya. Lampu kuning Sementara itu pengamat ekonomi Tony A. Prasetiantono menilai posisi cadangan devisa saat ini sudah hampir lampu kuning, sehingga BI harus hati-hati dan cermat menggunakannya. "Cadangan devisa sudah hampir lampu kuning, karena batasnya kan 4 bulan impor yang berarti 44 miliar dolar AS, sehingga BI jangan terlalu agresif lagi mengintervensi pasar," katanya. Menurut dia, pada kondisi saat ini operasi pasar dan kenaikan suku bunga tidak akan efektif menaikkan kurs rupiah. "Yang diperlukan adalah memberlakukan skema penjaminan 100 persen (blanket guarantee) seperti yang sudah dilakukan Singapura dan Malaysia," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008