Cilacap, (ANTARA News) - Pelaksanaan eksekusi tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra rencananya dilakukan awal bulan November 2008. Sebagai terpidana mati, Amrozi dan kawan-kawan berhak memperoleh pendampingan rohaniwan yang ditujukan untuk membimbing mereka sebelum menjalani eksekusi. Salah seorang pembina rohani narapidana Nusakambangan, K.H.Sahlan Nasir membagi kisahnya tentang pembinaan rohani terhadap Amrozi dan kawan-kawan. K.H.Sahlan yang ditemui di Demaga Wijayapura usai memberikan siraman rohani di Nusakambangan, mengatakan, banyak pengalaman menarik ketika mendampingi ketiga terpidana mati itu, meski tidak hanya dirinya yang bertugas untuk memberikan pembinaan kepada Amrozi dan kawan-kawan. Menurut dia, para rohaniwan di Nusakambangan mengaku sulit dalam memberikan pendampingan rohani kepada ketiga terpidana itu. Hal itu, kata dia, disebabkan adanya perbedaan pemahaman dan pandangan tentang Islam yang muncul sejak awal. "Ketiga terpidana ini tidak mau menerima pandangan orang lain. Ketiganya berpendirian yang sama kerasnya karena memiliki pemikiran dan ilmu yang sama," katanya. Ia menjelaskan, Amrozi dan kawan-kawan selalu merasa sebagai yang paling benar dan tetap memegang teguh pandangan bahwa jihad merupakan salah satu yang mereka anggap sebagai cara menyebarluaskan ajaran islam. Menurut K.H. Sahlan, diskusi selalu berlangsung memanas antara ketiga terpidana mati ini dengan rohaniwan yang dinilai tidak sepaham. "Perdebatan tanpa ujung selalu terjadi setelah penyampaian siraman rohani bagi para napi, bahkan setiap usai Salat Jumat," katanya. Amrozi dan kawan-kawan selalu mendatangi rohaniwan yang menjadi khatib dan marah-marah karena kotbah yang disampaikan dinilai tidak sesuai dengan pemahaman. "Saya sendiri pernah mengalami, hingga akhirnya harus berdebat tanpa ujung dengan ketiganya," katanya. Dari ketiga terpidana mati ini, lanjut dia, Mukhlas yang dinilai paling keras dalam dalam memberikan tanggapan. Menurut dia, saat Mukhlas memberikan tanggapannya, seolah-olah orang lain tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. "Mukhlas merupakan tipe yang selalu mendominasi, sementara Amrozi dan Imam Samudra hanya mengimbangi." Amrozi dan kawan-kawan selalu mendebatkan masalah Islam dan jihad, yang sesungguhnya hanya berbeda pandangan dalam hal pemahaman. Padahal, kata dia, ayat-ayat Quran yang dijadikan dasar sama dengan yang dipahaminya. "Secara makro Islam, saya tidak sependapat dengan pandangan Amrozi dan kawan-kawan dalam berjihad. Hal ini akibat perbedaan penafsiran ayat Quran yang sesungguhnya saya sediri juga memahami maknanya," kata K.H. Sahlan. Terlepas dari semua pengalaman yang dilalui para rohaniwan tersebut, dirinya menyatakan siap mendampingi Amrozi dan kawan-kawan jika waktu pelaksanaan eksekusi telah ditetapkan. Pertemuannya dengan Amrozi dan kawan-kawan terjadi pada bulan Ramadan lalu, saat mendampingi anggota DPR RI Slamet Effendy Yusuf. Rohaniwan Pendamping Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilacap menyiapkan sembilan ulama asal kabupaten ini untuk diajulan sebagai rohaniwan pedamping Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, sebelum menjalani eksekusi. K.H.Sahlan Nasir membenarkan penunjukan sembilan ulama yang akan menjadi pendamping Amrozi dan kawan-kawan. "Saat ini telah ada sembilan ulama dari MUI Cilacap yang telah dihubungi kejaksaan beberapa hari lalu. Biasanya hanya satu ulama yang akan dipilih dalam waktu yang mepet dengan pelaksanaan eksekusi," kata Sahlan. Sembilan ulama yang diusulkan tersebut masing-masing K.H.Sahlan Nasir, K.H.Hasan A.Makarim, H.Munasim, H.Amir Fattah, H.Haryadi, H.Askan, H.Hisam Mukti, Ustad Afrizal, dan H.Parlan. Menurut Sahlan, para ulama tersebut merupakan anggota tim pembinaan rohani Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Adapun Ketua MUI Cilacap, K.H.Dzul Bashor mengaku belum menerima surat resmi penunjukan sebagai rohaniwan pendamping oleh kejaksaan. K.H. Sahlan menyatakan MUI siap menjalankan tugas sebagai rohaniwan pendamping. "Kami siap mendampingi mereka sebagai rohaniwan pendamping karena merupakan tugas negara," katanya.(*)

Oleh Oleh I.Citra Senjaya dan Sumar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008