Kupang (ANTARA) - Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara, Ferdi Tanoni, mengatakan, mereka sudah lama menyiapkan gugatan kepada pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar asal Thailand PTTEP dalam kasus meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor yang terjadi pada 21 Agustus 2009.

"Sekitar tiga tahun lalu, tepatnya pada 2016, kami akhirnya mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan kepada Australia dan PTTEP (Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia), perusahaan minyak asal Thailand yang mengelola anjungan Montara di Pengadilan Federal Australia," katanya kepada Antara di Kupang, Minggu (29/12).

Baca juga: Rakyat NTT tuntut Australia 15 miliar dolar Amerika Serikat

Mantan agen Imigrasi Australia itu menambahkan persidangan atas kasus pencemaran tersebut sampai saat ini masih terus berjalan di Pengadilan Federal Australia di Syndey.

Ia menambahkan walaupun yang digugat itu baru di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao dengan jumlah penggugat mencapai lebih dari 15.500 orang petani rumput laut, dan prosentasenya hanya sekitar 3-5 persen, tetapi saya merasa, kami telah berbuat yang terbaik bagi rakyat, bangsa dan NKRI," kata penulis buku Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta itu.

Baca juga: 10 tahun kasus Montara, di mana kepedulian Indonesia?

Tanoni juga mengharapkan agar Kemenko Maritim dan Invenstasi di bawah kendali Luhut Pandjaitan segera mengambil sikapnya pada Januari 2020 ini untuk segera menyelesaikan kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor ini secara tuntas.

Ia mengatakan jika skenario tersebut terwujud maka Presiden Joko Widodo dengan segera menyurati Perdana Menteri Australia Scott Morrison untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian guna mengakhiri kasus Motara yang sudah 10 tahun berjalan, namun tak pernah mengenal kata akhir ini.

Kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor adalah masalah bangsa Indonesia yang sangat besar yang harus mendapatkan perhatian utama dan serius dari Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam upaya penyelesainnya.

Baca juga: Satu dekade kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor

"Jika dalam waktu sebulan ke depan PM Australia Scott Morrison tidak menanggapi surat Presiden Jokowi atau menjawabnya secara abu abu, maka kasus ini akan segera kami bawa ke International Court of Justice (ICJ) atau ke International for The Law Of the Sea (ITLOS)," katanya.

Sebab kasus pencemaran minyak di Laut Timor ini, kata Tanoni menegaskan tidak berdimensi politik, tetapi semata-mata hanya masalah kemanusiaan dan lingkungan.

Rakyat menderita
Pandjaitan mengatakan pemerintah Indonesia memutuskan mengambil sikap tegas dalam penyelesaian kasus pencemaran minyak di perairan Laut Timor, NTT karena insiden ledakan ladang migas Montara di Australia telah membuat rakyat menderita.

"Ini memang masalah bertahun-tahun tidak pernah diputuskan, sekarang kita putuskan bahwa kita harus membela kepentingan rakyat kita yang rumput lautnya, pantainya tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara yang hari ini, 29 Desember 2019, sudah berjalan 10 tahun dan 4 bulan," katanya.

"Saya tidak tahu dia mau bayar atau tidak, itu yang jelas rakyat kita menderita. Mereka dulu secara lisan sudah mengakui ada kesalahan mereka saat pertemuan dengan Hassan Wirajuda (mantan menteri luar negeri) dan Menlu Thailand serta Freddy Numberi (mantan menteri perhubungan)," tegasnya.

Sejak meledaknya anjungan minyak Montara 10 tahun lalu, pemerintah terus mengejar ganti rugi perusahaan migas asal Thailand itu, namun tetap menemui jalan buntu.

Baca juga: Petani rumput laut Indonesia tuntut atas tumpahan minyak di Australia

Perusahaan minyak tersebut melalui situs resminya www.pttep.com, mengutip hasil riset independen bahwa tidak ada minyak dari anjungan Montara yang memasuki wilayah daratan RI dan Australia, bahkan mengklaim bahwa tumpahan minyak tersebut hanya memberikan dampak kecil atau bahkan tidak ada sama sekali pada ekosistem atau spesies laut di wilayah perairan Laut Timor.

Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli dari Amerika Serikat dan Australia menyebutkan bahwa tumpahan minyak dari anjungan Montara milik perusahaan asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP) itu, dalam jumlah yang sangat besar mengalir ke Laut Timor sampai menembus sejumlah wilayah pesisir kepulauan NTT selama 74 hari tanpa mampu dihentikan.

Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cahyo R Muzhar, mengatakan mengenai kerusakan dan kerugian di Laut Timor itu cukup masif.

"PTTEP Australasia tetap harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang berdampak bagi para korban yaitu petani rumput laut, nelayan, dan masyarakat sekitar. Itu semua harus dikompensasi," ujarnya.

Dampak ekonomi dari tumpahan minyak Montara ini juga dirasakan sangat berat oleh Ferdi Tanoni, yang berjuang seorang diri membela hak-hak rakyat yang terdampak.

Kala itu, timnya Ferdi Tanoni pernah meminta bantuan seorang penasihat kepresidenan AS, Dr Robert Spies, yang pernah menghitung ganti rugi dalam kasus meledaknya anjungan Deepwater Horizon milik British Petroleum di Teluk Meksiko tahun 2010 dan mengkaji tumpahan minyak yang mengucur dari kapal Exxon Valdez di Alaska pada 1989.

Dr Robert Spies mengatakan rumput laut yang tercemar di wilayah perairan NTT mengalami sedimentasi minyak yang teramat parah, sehingga butuh waktu yang lama untuk mengembalikan keadaan.

"Kami sangat optimistis akan memenangkan perkara ini dengan menggugat pemerintah Federal Australia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membayar ganti rugi sebesar 15 miliar dolar AS kepada rakyat NTT yang menderita," kata Tanoni.

Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019