Jakarta (ANTARA) - Ada sesuatu yang tak biasa di Gedung Paguyuban Pasundan, Bandung, Sabtu: 21 Desember 2019 lalu. Organisasi yang lahir karena kesadaran dan harga diri berbangsa, itu menggelar peluncuran dua buku.
Masing-masing: Pok Pek Prak Endang Caturwati di Tatar Sunda yang merupakan biografi Endang Caturwati, guru besar (Profesor) bidang seni pertunjukan pertama di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) - Bandung; dan Perempuan Indonesia, Dulu dan Sekarang.
Buku Pok Pek Prak ditulis oleh Rani Siti Fitriani, sedangkan buku Perempuan Indonesia ditulis sejumlah guru besar dan akademisi perempuan dari berbagai daerah di Indonesia, yang disunting Endang Caturwati, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) - 2012 dan Direktur Kesenian & Pembinaan Film dan Direktur Kesenian, Ditjend Kebudayaan - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013 - 2016).
Pada acara itu hadir Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang juga bicara tentang perempuan dan ibu, sesuai dengan konteks penyelenggaraan acara itu.
Hadir juga Rektor UIN Syarief Hidayatullah - Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis dan Rektor ISBI Bandung, Dr. Hj. Een Herdiani, dan begitu banyak perempuan akademisi, aktivis, dan penggiat seni budaya.
Tiga perempuan guru besar, tampil di atas pentas membacakan naskah Ibu Bangsa yang mengungkap kiprah perjuangan kaum perempuan Indonesia dari masa ke masa, sejak jauh sebelum Indonesia Merdeka sampai kini. Selama beberapa menit ketika naskah itu dibaca, tergambar dimensi peran perempuan Indonesia di berbagai bidang dan lapangan kehidupan.
Muaranya adalah menegaskan posisi perempuan sebagai pencerah bangsa. Tak hanya di masa lalu dan kini, melainkan juga di masa depan.
Penerbitan buku setebal 500 halaman yang ditulis 30 perempuan cendekia itu sendiri, menunjukkan upaya serius untuk terus memelihara gairah perjuangan literasi.
Menjadi menarik, justru ketika industri perbukuan, terutama di Indonesia, sedang menghadapi persoalan pelik. Yakni, tak mampu menyelesaikan persoalan klasik: minat baca, daya beli, dan distribusi buku yang tak merata. Secara eksternal, juga kuatnya pusaran teknologi informasi dan industri gadget yang begitu kuat.
Di Prancis dan di berbagai belahan dunia lain, para penerbit melakukan reorientasi ekologis dan finansial dengan menggunakan digital short print. Reorientasi itu, itu mengikuti arus perubahan era yang sangat kuat dari era informasi ke era konseptual. Suatu langkah yang secara serta merta dan berhadap-hadapan dengan berlangsungnya proses singularitas dan transhumanisme di lingkungan masyarakat.
Lepas dari persoalan demikian, saya melihat upaya yang diinisiasi oleh Endang Caturwati (kelahiran Cibangkong - Bandung, 25 Desember 1956), itu memberi isyarat, bahwa gairah para perempuan cendekia dalam perjuangan literasi masih kuat.
Apalagi, buku Perempuan Indonesia, merupakan ekspresi dan refleksi pemikiran mendalam yang membidik konstelasi perempuan di seluruh aspek kehidupan (pendidikan, sosial, politik, ekonomi, seni, dan budaya). Sekaligus berbagai fenomena unik tentang kaum perempuan Indonesia, kini.
Meski belum mewakili seluruh ekspresi perempuan cendekia Indonesia yang jumlahnya sangat banyak, buku Perempuan Indonesia, yang diwakili oleh 30 penulis, itu terasa sebagai ungkapan gairah perjuangan literasi perempuan cendekia.
Baca juga: Literasi bekal Kartini zaman now
Melakukan inisiasi, sekaligus memotivasi 30 perempuan cendekia menuliskan pemikirannya, tentu tidak mudah.
Tak hanya karena kesibukan rutin mereka di dunia akademis, serta berbagai dinamika persoalan domestik dan sosial mereka. Tetapi juga, karena tradisi menulis di kalangan cendekia memerlukan waktu tertentu.
Kemampuan mewujudkan gagasan menghimpun pemikiran para perempuan cendekia dalam satu buku, tentu merupakan prestasi tersendiri. Sangat wajar, ketika Menko Muhadjir Effendy dan Gubernur Ridwan Kamil merespon dengan apresiasi positif, sekaligus menjadikan upaya itu sebagai model pengembangan inisiatif dan daya cipta perempuan cendekia.
Tak hanya itu, ketika berbicara di hadapan forum itu, Endang Caturwati mengemukakan, yang memungkinkan inisiatifnya mewujud adalah kuatnya daya silaturahmi antar perempuan cendekia. Baik melalui forum-forum seperti Dewan Guru Besar, maupun berbagai forum lain, termasuk Kursus Reguler Angkatan (KRA) - Lemhannas.
Saya tertarik dengan cara yang ditempuh inisator (Endang Caturwati) - yang dalam percakapan dengan saya menggambarkan proses kreatif sejak mempunyai ide sampai mewujud secara nyata. Inisiator memilih cara, menghadapkan para perempuan cendekia dengan realitas pertama kondisi obyektif konstelasi kaum perempuan Indonesia sebagai tantangan. Kemudian mengemukakan peluang yang mungkin dilakukan para perempuan cendekia untuk memainkan peran aktif menjawab tantangan tersebut.
Informasi dan komunikasi yang dilakukannya melalui saluran komunikasi mutakhir -- termasuk social messanger -- menjentikkan motivasi. Kemudian menggerakkan kesadaran kolektif dan antusiasme menulis.
Inisiator memberi nilai proksimitas dan intimasi personalnya untuk 'menggerakkan' para perempuan cendekia itu menulis. Termasuk melakukan eksplorasi pendalaman pemikiran atas berbagai observasi dan penelitian yang pernah mereka lakukan.
Saya sebut cara ini sebagai paradigma people centric daripada program centric. Inisiator berhasil menghimpun 30 perempuan cendekia dengan spesifik bidang keilmuan dan bidang minat masing-masing. Hasilnya adalah ketajaman melihat realitas sosial sehari-hari secara jernih dan fokus. Termasuk dalam melihat substansi persoalannya.
Seluruh perempuan cendekia yang terlibat dalam penerbitan buku ini, menggali lebih dalam topik dan tema yang mereka tentukan sendiri. Sekaligus menggali pemahaman mereka terhadap persoalan yang diamati. Lantas bersama-sama, melalui karya mereka yang terpumpun dalam buku ini, menggerakkan arus pemikiran yang boleh disebut sebagai peoples driven.
Dalam banyak hal, berbagai tulisan yang terpumpun dalam buku Perempuan Indonesia, dapat diambil manfaatnya oleh pemerintah sebagai referensi untuk perumusan policy design (rancang kebijakan). Oleh masyarakat, dapat dipergunakan sebagai landasan pengembangan berbagai inisiatif terkait dengan pengembangan potensinya (community development).
Dalam konteks philantropi kalangan bisnis, pemikiran yang terpumpun dalam buku ini, dapat dipergunakan sebagai referensi akademik. Khasnya dalam mengambil langkah paradigma dari aksi corporate social responsibility menuju aksi corporate community development, dan corporate cultural responsibility. Termasuk untuk membangun sinergitas dalam melakukan aksi program kemitraan dunia industri, pemerintah dan masyarakat.
Beragam pemikiran para perempuan cendekia dalam buku Perempuan Indonesia, bahkan relevan dalam melakukan proses visioneering kebangsaan, untuk memproyeksikan perkembangan Indonesia ke depan.
Persis seperti yang dikemukakan inisiator, yang juga berperan sebagai arranger dan conductor 30 perempuan cendekia, bahwa perjuangan literasi ini setidaknya, dilakukan untuk menemukan realitas persoalan yang nyata.
Setarikan nafas, juga untuk mendapatkan informasi akurat dan applicable, dalam menghidupkan kekuatan baru masyarakat.
Khususnya kaum perempuan Indonesia.
Salut untuk inisiator dan 30 perempuan cendekia Indonesia yang memang H.E.B.A.T (helpful, entusiasm, brightly, active, trusty).
Mereka adalah perempuan cendekia yang pemikirannya sangat membantu, bergairah dalam berkarya, mencerahkan, aktif berperan, dan dapat dipercaya. Lima hal itu, diperlukan kini, untuk mempercepat manifestasi dari sesanti Indonesia maju.
*) N. Syamsuddin Ch. Haesy adalah wartawan senior, dosen dan budayawan
Baca juga: KPPPA luncurkan aplikasi perpustakaan digital
Baca juga: OJK: Perempuan harus mampu jaga keuangan keluarga
Copyright © ANTARA 2019