Serang (ANTARA News) - Kampung asal terpidana mati bom Bali I, Imam Samudra, di Lopang Gede, Kelurahan Lopang, Kota Serang, Banten, kembali menjadi terkenal seantero jagat menjelang eksekusinya."Saat ini banyak wartawan dan warga luar daerah datang ke sini hanya untuk mengetahui rumah orangtua kediaman Imam Samudra," kata Ketua Rukun Warga (RW) 01 Lopang Gede, Kelurahan Lopang, Serang, Ahmad Rosidi, Jumat.Dia mengatakan, kampungnya sempat terkenal pertama kali saat tertangkapnya Imam Samudra pasca ledakan bom Bali, karena mendapat liputan meluas dari media massa di dalam dan luar negeri.Bahkan, kata dia, saat ini pihaknya terpaksa membuka pos pengamanan karena banyak pengunjung dari luar daerah. "Pengunjung yang hendak masuk ke kampung Lopang Gede terlebih dulu melapor di pos pengamanan," katanya. Dia menyatakan, hingga saat ini pihak keluarga Imam Samudra belum meminta kepada warga untuk bersedia membuat lubang pemakaman. "Jika kami diminta keluarga Imam Samudra untuk memakamkan jenasah, maka tentu warga bersedia menerimanya," ujarnya. Warga setempat saat ini sudah menyediakan lahan parkir untuk menerima tamu atau pengunjung agar mereka merasa aman. Menurut dia, setelah pengumuman Kejaksaan Agung bahwa terpidana mati Bom Bali I, Amrozi, Muklas, Imam Samudra, akan dieksekusi awal November 2008, maka suasana kampung mengalami peningkatan pengunjung dari luar daerah, termasuk wartawan.Kampung Lopang Gede berpenduduk sekira750 kepala keluarga, dan sebagian besar menjadi pedagang, sehingga merasa senang apabila jenasah Imam Samudra dibawa ke tanah lahirnya. "Saya sebagai orang muslim tetap akan menerima jenasah Imam Samudra, kendati pun dia pelaku bom Bali," ujarnya. Sementara itu, di kediaman rumah orangtua Imam Samudra tampak sepi dan hanya warung milik ibundanya yang terbuka. "Saya sudah dua hari ini tidak melihat Ny Embay Badriyah, ibunda Imam Samudra," kata Habibi, ketua rukun tetangga (RT) 01/07 Lopang Gede yang rumahnya hanya beberapa meter dari kediaman keluarga Imam Samudra. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008