Jakarta (ANTARA) - Jika kita mendengar istilah agraris mungkin hal pertama yang terlintas adalah kata pertanian. Pengertian agraris adalah sektor pertanian atau penduduk yang mayoritas memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian.
Indonesia adalah salah satu negara agraris, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertanian merupakan sektor lapangan pekerjaan yang masih mendominasi sebesar 27,33 persen, dibandingkan sektor perdagangan (18,81 persen) dan industri pengolahan (14,96 persen).
Tentu saja sebagai negara agraris, lahan pertanian Indonesia diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Dengan julukan sebagai negara agraris, Indonesia diharapkan dapat menghasilkan bahan pangan sendiri.
Sayangnya harapan tersebut sangat bertentangan dengan realita yang terjadi di Indonesia. Ironisnya sebagian bahan pangan yang semestinya dapat diproduksi sendiri seperti beras, kentang, teh, dan jagung masih diimpor oleh Indonesia. Setiap tahun Indonesia mendatangkan beras dari beberapa negara, termasuk negara ASEAN lainnya seperti Vietnam dan Thailand, untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Berdasarkan data BPS Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018).
Ketergantungan Indonesia terhadap impor beras selama ini karenaproduksi dalam negeri yang terbatas atau juga dapat dikarenakan adanya keuntungan dalam perdagangan luar negeri.
Ketergantungan Indonesia pada impor beras bukanlah sebuah cerita baru, ketergantungan mengimpor beras dirasa telah trejadi sejak terjadinya krisis ekonomi 1997/1998. Sda juga yang mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor beras sudah ada sejak era Orde Baru.
Memang sedikit disayangkan, di mana Indonesia sebagai negara agraris besar harus bergantung terhadap impor beras selama bertahun-tahun lamanya.
Memang tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan dengan pasti berapa lama Indonesia harus bergantung mengimpor beras, apakah ketergantungan ini menunjukan ketahanan pangan Indonesia yang tidak kokoh?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tulus Tambunan dalam tulisannya Ketahanan Pangan di Indonesia: Mengidentifikasi Beberapa Penyebab, ada beberapa prinsip mengapa sebuah negara melakukan impor suatu produk yang dikarenakan tiga alasan.
Pertama, produksi dalam negeri terbatas, sedangkan permintaan domestik tinggi (kelebihan permintaan di pasar domestik). Jadi impor hanya sebagai pelengkap.
Kedua, produksi dalam negeri terbatas, sedangkan permintaan domestik tinggi, sehingga dengan adanya impor akan mengurangi produksi dalam negeri.
Ketiga dilihat dari sisi neraca perdagangan (atau neraca pembayaran), impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri bisa untuk ekspor, dengan asumsi harga ekspor di pasar luar negeri lebih tinggi daripada harga impor yang harus dibayar. Kenaikan impor tidak mengurangi produksi dalam negeri, tetapi meningkatkan ekspor; atau bahkan jika kapasitas produksi dalam negeri belum sepenuhnya terpakai, kenaikan impor bisa berkorelasi positif dengan kenaikan produksi dalam negeri atau ekspor, dengan asumsi bahwa permintaan luar negeri terhadap produk dalam negeri meningkat.
Bak buah simalakama pembahasan mengimpor beras tentu tidak akan ada habis-habisan. Selain karena tiga alasan di atas dalam hal impor beras memang pemerintah sendiri mengalami kekhawatiran terhadap pasokan beras dan kondisi lahan yang ada di Indonesia.
Kekhawatiran ini sering kali terjadi pada saat pergantian musim. Saat hujan lebat yang kemudian diikuti dengan banjir, maka jalur distribusi terancam.
Berbeda halnya ketika musim kemarau, risiko kekeringan lahan sering menghantui para petani. Petani mengalami kerugian dan keadaan ini menyebabkan harga beras menjadi naik dan dirasa mencekik rakyat.
Para ibu-ibu teriak-teriak harga beras yang mahal. Sontak ini juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan impor tiap tahunnya. Pemerintah juga berargumen bahwa keputusan ini bertujuan sebagai langkah antisipasi terhadap kenaikan harga beras.
Untuk mencukupi penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa setiap tahunnya pemerintah Indonesia dapat mengimpor beras sekitar dua juta lebih ton beras.
Impor beras dianggap pemerintah sebagai kebijakan yang tidak dapat dihindarkan, karena hal ini bukan hanya semata-mata mengenai memberi makan masyarakat Indonesia namun juga menyangkut stabilitas ekonomi, politik, dan sosial.
Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan apakah kebijakan impor beras adalah langkah antisipasi terbaik? Apakah kondisi ini sebagai cerminan ketahanan pangan di Indonesia tidak kokoh?
Jika kembali mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 ayat 4, maka pengertian ketahanan pangan dapat disimpulkan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi semua masyarakat dari ketersediaan pangan yang jumlah dan mutunya aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau sehingga masyarakat dapat hidup aktif, sehat, dan produktif secara berkelanjutan.
Keberpihakan pemerintah terhadap rakyat untuk mewujudkan ketahanan pangan, mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ketahanan adalah sebuah keharusan.
Pemerintah haruslah berdaulat pangan dengan cara mencukupi produksi pangan secara mandiri, menyediakan peraturan tentang pengendalian dan pengawasan ketersediaan pangan.
Kebijakan impor dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan pemerintah tetap dapat menjaga hubungan antar negara yang saling menguntungkan, namun pemerintah harus mampu mengendalikan impor sehingga tujuan ketahanan dan kedaulatan pangan secara mandiri seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 dapat tercapai.
*) Meilinda Triana Pangaribuan adalah Mahasiswa S2 Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Copyright © ANTARA 2019