Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Mubyarto menyerukan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang pengelolaan ekonomi Indonesia menyusul krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang dampaknya juga ikut dirasakan Indonesia.
Siaran pers Yayasan Mubyarto di Jakarta, Selasa, menyebutkan ketergantungan yang sangat besar menyebabkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi akibat faktor eksternal tersebut.
Oleh karena itu yayasan yang didirikan untuk melanjutkan dan mengembangkan pikiran-pikiran Mubyarto merekomendasikan agar pemerintah mengkaji ulang ketergantungan ekonomi Indonesia pada dominasi modal internasional khususnya Amerika Serikat.
"Sebagai 'satelit' AS, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak pasar finansial yang terjadi karena tidak memiliki ketahanan ekonomi yang kuat. Dalam kaitan ini kita perlu pengaturan baru menyangkut rezim kurs atau devisa," kata siaran pers tersebut.
Terkait krisis tersebut, Yayasan Mubyarto berupaya agar kajian yang mereka sampaikan ini dapat mengurangi dampak krisis keuangan AS dan biaya yang ditanggung bangsa teralokasi secara efektif untuk kepentingan ekonomi rakyat banyak ketimbang kepentingan segelintir lapisan.
Sebanyak 11 rekomendasi kebijakan disampaikan dengan inti penekanan adalah tidak lagi tergantung kepada dominasi modal internasional dan kembali kepada kemandirian serta mengembangkan ekonomi rakyat.
Krisis di AS tersebut seharusnya menjadi tonggak pelajaran untuk mengembalikan ekonomi nasional menuju ekonomi kerakyatan berdasar pasal 33 UUD 1945 dan juga sebagai momentum untuk kemandirian ekonomi nasional.
Belajar dari krisis 1997/1998, Indonesia justru semakin terpuruk dengan berbagai resep ekonomi dari IMF dan Bank Dunia. Resep yang diberikan justru semakin menjerumuskan perekonomian Indonesia ke dalam cengkraman penguasaan modal internasional.
Agar hal tersebut tidak terjadi lagi maka perlu didorong agar biaya pemulihan lebih ditujukan untuk meningkatkan daya tahan ekonomi rakyat.
Yayasan Mubyarto juga mengkritisi isu
bail-out Bank Indover yang diusulkan sebesar Rp7 triliun. Jumlah sebesar itu hampir sama dengan anggaran Departemen Pertanian selama satu tahun.
Sedangkan upaya untuk mempertahankan nilai rupiah di bawah Rp10.000 per dolar AS, yayasan ini melihat bahwa hal tersebut hanya ditujukan untuk mempertahankan harga produk-produk impor di dalam negeri tetap relatif murah. Jika memang hal tersebut yang diinginkan berarti Indonesia justru menyediakan diri menjadi sasaran pasar AS.
Yayasan Mubyarto juga merekomendasikan agar perspektif yang lebih mementingkan "daya saing" digantikan dengan mementingkan daya tahan atau ketahanan berbasis kelembagaan, modal sosial dan sumberdaya.
Khusus untuk sektor pertanian, yayasan ini mendorong agar strategi pengembangan pertanian dikembangkan untuk makin meningkatkan nilai tambah produknya.
Dikatakannya, apa yang terjadi saat ini justru tidak memperlihatkan kekayaan negara ini misalnya sebagai eksportir karet mentah, Indonesia justru merupakan importir ban terbesar di dunia, atau sebagai eksportir terbesar minyak sawit, tetapi sekaligus mengimpor bio-diesel dari luar.
Ekonomi Indonesia sudah terlalu jauh terseret arus kapitalisme neoliberal, sehingga ketergantungannya sudah sampai pada tahapan yang tidak masuk akal sehat. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008