Jakarta (ANTARA) - "Wait and see" bisa jadi istilah yang paling banyak keluar jika para investor bicara tentang kilas balik di tahun 2019 yang jadi tahun politik di tengah perang dagang global.
Kondisi dan kebijakan yang belum pasti karena pergantian kepemimpinan merupakan salah satu pertimbangan pengusaha untuk menanamkan modal di Indonesia.
Bahkan, sebagian investor menilai kepastian hukum dan konsistensi kebijakan jadi hal utama, di atas aspek keamanan, untuk berinvestasi.
Kondisi tahun politik yang juga diwarnai sejumlah aksi massa sempat dikhawatirkan berimbas pada minat kalangan berduit untuk menanamkan modal di Tanah Air.
Namun, tampaknya, kondisi tahun politik yang cukup panas di dalam negeri tidak sepanas perang dagang yang berlangsung antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China, yang hingga kini belum tampak berdamai.
Selain karena perang dagang antara AS dan China, melambatnya pertumbuhan investasi Indonesia--utamanya sejak 2018 lalu--juga terimbas akibat gejolak ekonomi dunia, mulai dari ketegangan hubungan dagang sejumlah negara, serta penurunan harga komoditas.
Karena rentetan tekanan ekonomi global itu, ekspansi kinerja ekspor terhambat. Lesunya ekspor di Indonesia akhirnya menurunkan produksi dan menyurutkan minat investor global untuk berinvestasi.
Padahal, pemerintah fokus untuk menggenjot investasi masuk ke Indonesia, salah satunya yakni untuk mendukung pembangunan di segala sektor.
Investasi diyakini akan mampu mendorong tumbuhnya industri yang akan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia yang populasinya besar.
Baca juga: BKPM gandeng Kejaksaan RI beri perlindungan hukum kepada investor
Kalah saing
Meski didera dampak perang dagang, sejatinya Indonesia beserta negara Asia Tenggara lainnya berusaha keras mencari peluang yang dapat menguntungkan negara masing-masing. Sayangnya, Indonesia kalah dari Vietnam untuk merebut peluang itu.
Bank Dunia menyatakan dari 33 perusahaan China yang memindahkan operasi ke luar negeri, 23 diantaranya memilih Vietnam sementara 10 lainnya pergi ke Malaysia, dan sisanya ke Thailand serta Kamboja.
Indonesia tidak masuk daftar ekspansi perusahaan China, dan hal itu membuat Presiden Jokowi, yang telah terpilih sebagai Presiden di periode kedua, marah besar.
"23 (perusahaan) memilih (investasi) di Vietnam, 10 lainnya perginya ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Enggak ada yang ke kita. Sekali lagi, 33 perusahaan di China yang keluar, saya ulang, 23 ke Vietnam, 10 ke Kamboja, Thailand, Malaysia," kata Presiden Jokowi.
Ada banyak studi mengenai asal usul Vietnam tersebut menjadi bintang di kawasan, termasuk karena upaya mereka membuka ekonominya sejak beberapa tahun lalu, termasuk di dalam soal kemudahan perizinan usaha.
Faktor kesamaan selera dan kedekatan kultur antara China dan Vietnam juga disebut jadi salah satu alasan negeri tirai bambu lebih memilih Vietnam untuk relokasi industri.
Isu daya saing juga menjadi faktor lain yang menyebabkan Vietnam lebih unggul dibandingkan Indonesia, misalnya dari harga lahan di Vietnam yang jauh lebih murah dibanding dengan Indonesia.
Ditambah lagi, tidak seperti di Indonesia, tidak ada kewajiban konten lokal di Vietnam sehingga banyak investor berduyun-duyun masuk ke negara di kawasan Indochina itu.
Baca juga: Peneliti: kebijakan perdagangan Indonesia perlu lebih terbuka
Harapan baru
Kendati demikian, kembali terpilihnya Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 dianggap jadi salah satu yang disambut positif kalangan investor. Bukan saja karena Jokowi sangat mendukung pembangunan melalui investasi, tapi kelanjutannya di periode kedua diharapkan dapat membuat kebijakan yang konsisten terhadap kemudahan investasi.
Harapan kembali mengembang saat Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya di Kabinet Indonesia Maju, Oktober 2018 lalu.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang jadi lembaga penjaga arus investasi ke Indonesia, mendapat pimpinan baru dari kalangan bisnis, yakni mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia.
Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga gencar melakukan promosi investasi ke berbagai negara, juga mendapat tambahan tugas dengan memimpin Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Sebagai pengusaha, Bahlil Lahadalia tentu paham betul kondisi bisnis di lapangan. Ia pun mengaku akan meningkatkan berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga lainnya untuk mencari dan mengidentifikasi izin-izin yang mempersulit investor dalam menanamkan modal mereka di Indonesia.
Hal itu, menurut Bahlil, dilakukan guna mempercepat realisasi investasi masuk ke Tanah Air.
"Selama ini keluhan teman-teman adalah izin tumpang tindih antara daerah dan provinsi. Sekarang tugas kami adalah melakukan konsolidasi untuk mengidentifikasi mana izin yang selama ini jadi keluhan pengusaha," katanya.
Bahlil menuturkan strategi lain yang akan dilakukan untuk mempercepat realisasi investasi yakni membentuk satuan tugas khusus yang akan mengawal investasi masuk hingga terealisasi.
"Keluhan teman-teman investor, katanya kalau datang kemudian ditinggalkan. Sekarang atas perintah Bapak Presiden, harus menjamin dan memastikan setiap investor yang masuk untuk investasi di Indonesia wajib hukumnya untuk kami kawal," urainya.
Bahlil sendiri mengaku akan memimpin langsung satgas yang akan mengawal investasi itu. Ia ingin memastikan investor yang masuk benar-benar bisa merasa nyaman dan mendapat kepastian dalam berinvestasi di Indonesia.
"Kalau cuma masuk dan dilepas, maka saya yakin, jangankan investor asing, saya pun akan pikir-pikir dulu. Tapi saya pikir kabinet sekarang dengan adanya Pak Menko Airlangga (Menko Ekonomi) dan Pak Luhut (Menko Maritim dan Investasi), insya Allah akan kompak," pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Luhut Pandjaitan. Ia mengaku akan terus mendorong investasi masuk ke Indonesia dengan empat syarat, yakni ramah lingkungan, transfer teknologi, mempekerjakan lebih banyak warga lokal serta memberikan nilai tambah.
“Indonesia sangat terbuka pada peluang investasi yang ada. Jadi jangan dikira China, China semua. Jangan salah. Sekarang ini yang masuk di kita, investasi sudah mix, bukan satu entitas saja, China,” katanya.
Dengan segala hambatan yang ada hingga saingan yang tidak lemah, investasi diharapkan masih bisa jadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi ke depan. Utamanya karena Indonesia harus memaksimalkan bonus demografi hingga tahun 2030 mendatang.
Baca juga: Wamenkeu: Bonus demografi solusi atasi jebakan pendapatan menengah
Baca juga: Lapangan kerja usia produktif harus disiapkan pemerintah, sebut Menko
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019