Jakarta (ANTARA) - Pengamat perikanan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk jangan terburu-buru melakukan kajian terkait dengan regulasi untuk komoditas lobster.
"Tidak perlu terburu-buru sepanjang basis argumentasi dan peta jalan pemanfaatannya dihadirkan terlebih dahulu," kata Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Menurut Halim, sejumlah pertanyaan yang perlu diajukan dalam kajian itu adalah terkait kenaikan stok lobster, di mana saja sebarannya, serta sejauh mana tingkat pemanfaatannya untuk usaha pembesaran di berbagai sentra budidaya lobster.
Baca juga: Tolak ekspor benih lobster, Komisi IV DPR tekankan konservasi laut
Ia menegaskan, berbagai hal tersebut perlu dijawab oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebelum melontarkan wacana pembolehan kembali ekspor benih lobster, terlebih apabila manfaat usaha pembesaran lobster justru lebih dinikmati oleh negara tetangga seperti Vietnam.
Dalam konteks itu, ujar dia, sebaiknya Menteri Kelautan dan Perikanan menahan diri dan melakukan kajian di internal KKP dengan melibatkan para ahli yang kredibel dalam rangka menghadirkan kepastian usaha perikanan yang berujung pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
"Di sinilah pentingnya kajian itu dilakukan, apalagi Menteri Kelautan dan Perikanan baru menjabat dua bulan," kata Abdul Halim.
Baca juga: Pengamat ingatkan ekspor lobster meningkat setelah regulasi era Susi
Menurut dia, yang harus dihadirkan pada saat ini adalah tata kelola perikanan berkelanjutan dan bertanggungjawab, bukan tata kelola perikanan yang serba terburu-buru serta asumtif dan eksploitatif.
Sebelumnya, pengamat ilmu kelautan Suhana mengingatkan bahwa ekspor lobster mengalami peningkatan setelah adanya regulasi yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti, yang melarang benih lobster untuk diekspor.
"Setelah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2016 (terkait larangan ekspor benih lobster), ekspor lobster meningkat," kata Suhana kepada Antara di Jakarta, Kamis (19/12).
Menurut data yang diberikan Suhana yang diolah dari TradeMap 2019, ditemukan bahwa nilai ekspor lobster terus meningkat yaitu dari 7,09 juta dolar AS pada 2015, menjadi 14,84 juta dolar pada 2016, kemudian 17,31 juta dolar pada 2017, dan 28,45 juta dolar pada 2018.
Selain itu, ungkap Suhana, dalam periode 2010-2016 rata-rata sekitar 96,91 persen produksi lobster Indonesia bersumber dari perikanan tangkap dan hanya 3,09 persen yang berasal dari perikanan budidaya, serta sampai saat ini pasokan benih lobster untuk budidaya masih bersumber dari penangkapan di alam.
"Pemerintah harus belajar dari hilangnya benih nener (bandeng) di alam pasca banyaknya benih nener ditangkap nelayan. Dalam 30 tahun terakhir ini benih nener hilang di alam. Untungnya benih nener sudah bisa di benihkan secara buatan sehingga pasokan bandeng masih tersedia dari budidaya. Nah benih lobster sampai saat ini belum bisa di benihkan secara buatan," kata lulusan S3 dari Ekonomi Kelautan Tropika Institut Pertanian Bogor itu.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo meminta agar Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memperhatikan nilai tambah yang dapat diperoleh Indonesia dari kebijakan pembukaan keran ekspor benih lobster.
"Yang paling penting menurut saya, negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat, lingkungan tidak rusak, yang paling penting itu," kata Presiden Joko Widodo di pintu tol Samboja, Kutai Kartanegara, Selasa (17/12).
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta semua pihak untuk dapat bersabar menunggu kajian terkait benih lobster, karena masih belum ada regulasi terbaru yang resmi dikeluarkan terkait hal tersebut.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019