Wellington (ANTARA) - Amnesti (penghapusan hukuman) kepemilikan senjata api di Selandia Baru berakhir pada Jumat dengan menyisakan pertanyaan apakah program ambisius itu berhasil.

Kalangan pengkritik mengatakan polisi hanya bisa mengumpulkan sepertiga jumlah senjata api yang dilarang beredar setelah peristiwa pembantaian massal di Christchurch.

Perdana Menteri Jacinda Ardern tahun ini melarang penggunaan senjata semiotomatis serta meluncurkan program amnesti kepemilikan dan pembelian kembali senjata api setelah seorang tersangka orang kulit putih menembaki 51 orang Muslim hingga tewas di dua masjid di Christchurch.

Baca juga: Selandia Baru larang jenis senjata semiotomatis

Sejauh ini, lebih dari 56.346 senjata terlarang sudah ditarik dari peredaran. Jumlah itu merupakan kisaran angka yang diperkirakan oleh lembaga konsultasi KPMG dalam laporan independen mereka, kata Menteri urusan Kepolisian, Stuart Nash, dalam keterangannya.

Selain itu, hampir 188.000 komponen senjata api terlarang juga ikut diserahkan, Nash menambahkan.

“Bagaimanapun polisi telah secara konsisten memperingatkan bahwa persoalannya adalah kami tidak mengetahui berapa banyak persisnya senjata api yang beredar di masyarakat,” kata Nash.

Sementara itu, Ardern tengah menekan kebijakan baru reformasi senjata api melalui parlemen, termasuk pembuatan sistem pendaftaran untuk mengawasi setiap senjata yang dimiliki secara legal di negara itu.

Nash menyebut sejauh ini sekitar 31.650 orang telah berpartisipasi dalam program amnesti senjata api dan hampir NZ$100 juta (sekitar Rp925 miliar) dikeluarkan pemerintah untuk membayar kompensasi kepada pemilik senjata.

Baca juga: Warga Selandia Baru serahkan lebih dari 10.000 senjata api

Setelah hari ini, Nash mengatakan, para pemilik senjata api terlarang tidak akan mendapatkan kompensasi untuk menyerahkan senjata api, dan “mereka menghadapi risiko penuntutan dan terancam hukuman hingga lima tahun penjara, serta kehilangan lisensi mereka.”

Walaupun demikian, penyerahan senjata secara sukarela masih akan terus diterima.

Di sisi lain, pemimpin oposisi dan kelompok pelobi senjata api menyebut program amnesti tersebut sebagai sebuah kegagalan.

“Ini bukan jumlah yang bisa dibanggakan. Program ini tidak berhasil,” kata juru bicara Dewan Pemilik Senjata Api Berlisensi (Council of Licenced Firearms Owners/COLFO), Nicole McKee, kepada wartawan.

Dewan memperkirakan ada sekitar 170.000 senjata semiotomatis yang beredar di masyarakat sebelum amnesti diberlakukan.

Baca juga: Selandia Baru luncurkan program "pembelian-kembali" senjata

“Di samping upaya kami untuk mendorong kepatuhan, kami tahu bahwa para pemilik senjata merasa kecewa dengan aturan pelarangan dan implementasinya yang buruk sehingga membuat mereka tak ingin patuh,” kata McKee.

Pemimpin oposisi dari Partai Nasional mengatakan amnesti itu mengumpulkan kurang satu pertiga dari jumlah yang sebelumnya disebutkan polisi berada di masyarakat.

“Pemerintah membuat kesalahan dalam menargetkan pemilik senjata yang sudah patuh hukum di mana mereka seharusnya mengincar para berandal yang telah menebar ketidaknyamanan di Selandia Baru,” ujar juru bicara Partai Nasional, Mark Mitchell.

Sumber: Reuters

Kedubes jamin keselamatan umat muslim di Selandia Baru

Penerjemah: Suwanti
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019