Peningkatan tersebut disebabkan adanya penggunaan antibiotik yang tidak terkendali
Jakarta (ANTARA) - Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) mengatakan resistensi bakteri di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu khususnya sejak 2013, 2016 hingga 2019.
"Dari data yang kita himpun bakteri resisten itu semakin naik dari 40 persen, 60 persen dan saat ini 60,4 persen," kata Ketua KPRA dr Hari Paraton di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan peningkatan tersebut disebabkan adanya penggunaan antibiotik yang tidak terkendali. Dengan kata lain, bakteri resisten itu justru terjadi karena kesalahan penggunaan antibiotik.
"Hal itu terjadi di semua level sehingga meskipun sudah dilakukan sejumlah upaya pengendalian, hasilnya masalah tetap tidak menggembirakan," katanya.
Level-level tersebut di antaranya adalah di komunitas masyarakat. Contohnya, masyarakat membeli dan menyimpan antibiotik sesukanya, kemudian juga memberikan antibiotik semaunya kepada saudaranya yang sakit.
Kemudian juga di lingkungan peternakan yang menyebabkan resistensi bakteri di Indonesia semakin meningkat. Namun, hal itu telah diatur dengan adanya Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian terkait penggunaan antibiotik.
Ia menjelaskan salah satu keputusan menteri itu termasuk di dalamnya merupakan larangan penggunaan antibiotik sebagai penggemuk ternak dan hal itu sudah diterapkan.
"Nah, itu aturan pada hewan, untuk manusia juga sama harus ada aturan-aturan tertentu dan sudah kami rekomendasikan pada pemerintah," ujarnya.
Baca juga: Tren obat hewan berbahan herbal tekan penggunaan antibiotik
Baca juga: Kementan harap resistensi antibiotik masuk kurikulum FKH
Menurutnya, hal itu perlu diatur sebab angka 60,4 persen itu cukup tinggi untuk sebuah resistensi bakteri. Apalagi jika berkaca pada negara tetangga yakni Singapura hanya berada pada angka 26 persen.
"Jadi angka kita itu sudah tinggi, perlu tindakan lebih lanjut agar Indonesia tidak menjadi sumber atau pusat dari bakteri resisten," katanya.
Sebab jika sudah menjadi sumber bakteri resisten, maka setiap orang yang datang ataupun pergi dari Indonesia harus berhati-hati karena bakteri itu bisa terjadi dimana saja, menyebar kemana pun dan menimbulkan korban jiwa.
"Semua orang bisa terinfeksi bakteri resisten sehingga perlu berbagai percepatan untuk mengatasi situasi ini termasuk melalui program dan strategi di pemerintahan," demikian Hari Paraton.
Baca juga: Indonesia surga mikrob tapi nol hasilkan antibiotik
Baca juga: INRUD : pemberian antibiotik pada pasien di Indonesia berlebihan
Baca juga: Semua harus cegah resistensi antibiotik
Baca juga: FAO: Asia Tenggara pusat penyalahgunaan antibiotik
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019