Sekitar 5-9 persen, masyarakat kita memilih didasari kecerdasan akademis, sebanyak 11-15 persen memilih karena dasar idealisme, dan sisanya memilih dengan perut."
Denpasar (ANTARA) - Buku berjudul "Populisme Menghancurkan Demokrasi" yang ditulis Dr I Made Pria Dharsana SH, MHum, mengkritisi fenomena semakin menguatnya politik identitas dalam praktik perpolitikan di Tanah Air.
"Mulai 2017 sejak pilkada DKI Jakarta, bahkan digunakan juga di Pilpres 2019, politik identitas itu sangat terpolarisasi, sehingga hampir membelah persatuan dan kesatuan bangsa. Ingatan-ingatan ini harus disampaikan agar kesadaran kita bernegara, bahwa politik itu jangan seluruhnya menjadi panglima dalam sikap kita tentang kebangsaan," kata Pria Dharsana saat memberikan keterangan kepada awak media, di Denpasar, Kamis.
Baca juga: Pengamat sebut Reuni 212 gerakan politik populisme kanan
Buku setebal 309 halaman itu akan "dibedah" oleh sejumlah pembicara atau narasumber yakni Dr I Dewa Gede Palguna SH, MHUm, Drs Putu Suara MA dan Dr Putu Tuni Sakabawa Landra, SH, MHUm pada 20 Desember 2019 di rumah jabatan Gubernur Bali, Jayasabha, Denpasar.
Pria Dharsana, peraih gelar doktor di Universitas Indonesia itu berpandangan masyarakat Indonesia hingga saat ini dalam berpolitik cenderung belum dewasa memilah mana yang benar dan tidak benar, sehingga terkesan ditelan begitu saja bahkan informasi hoaks.
Bahkan celakanya, lanjut dia, dari tiga tipe pemilih di negara kita yakni yang memilih dengan kecerdasan akademis, dengan hati, maupun tipe memilih dengan "perut", yang terbanyak justru memilih karena alasan perut atau yang mendapatkan iming-iming logistik.
"Sekitar 5-9 persen, masyarakat kita memilih didasari kecerdasan akademis, sebanyak 11-15 persen memilih karena dasar idealisme, dan sisanya memilih dengan perut," ucap Pria yang sehari-hari juga sebagai notaris-PPAT di Kabupaten Badung itu.
Buku tersebut, tambah Pria Dharsana, merupakan ikhtiarnya dalam menjahit berbagai peristiwa politik, hukum dan sosio kemasyarakatan Tanah Air yang sarat makna. Peristiwa-peristiwa penting tersebut teramat perlu ditulis dan didokumentasikan agar tak hanya usai dalam mimbar-mimbar diskusi dengan durasi waktu yang amat terbatas.
"Ada banyak hal yang saya ulas dalam buku ini dalam berbagai geliat masyarakat Indonesia, dimana kecenderungan perpolitikan Tanah Air yang menggunakan pola-pola populis sepaket dengan politik identitasnya, sebagai bahan bakar utama meraup dukungan massa dalam perhelatan pesta demokrasi atau pemilu," ujarnya.
Para ahli, lanjut dia, ada yang menganggap populisme sebagai petanda baik dalam demokrasi, sebab dapat menjadi pengingat yang ampuh bagi elit politik untuk lebih memberikan ruang bagi keterlibatan publik dan menempatkan sebesar-besarnya kepentingannya dalam proses pembuatan kebijakan.
Baca juga: Populisme sayap kanan disebut berisiko timbulkan perpecahan
Di sisi lain, ada yang melihat populisme sebagai penyakit yang suatu waktu dapat membawa kehidupan berdemokrasi dalam kondisi kronis. Seringkali klaim-klaim kaum populis hanya digunakan untuk menaikkan elektabilitas personal di mata pemilih, agar dapat memenangkan sebanyak-banyaknya suara.
"Populisme ini harus diperhatikan bersama-sama, jangan sampai justru menghancurkan demokrasi yang sudah dibangun dengan sangat baik oleh para 'founding father' kita. Saya khawatir jika politik identitas populisme ini digunakan pula dalam Pilkada 2020," ucapnya yang juga Dosen Luar Biasa di Universitas Warmadewa, Universitas Brawijaya dan Universitas Udayana itu.
Lewat buku yang materinya telah diramu sejak 2009 itu, Pria Dharsana juga mencoba menggambarkan kegalauannya menyaksikan arus perkembangan politik Indonesia yang menghasilkan produk-produk hukum, seperti produk hukum pertanahan, investasi yang kurang mencerminkan peningkatan kualitas para politisi yang dapat tercermin dari produk perundang-undangannya.
Baca juga: Isu harga karet dan populisme Islam buat Prabowo unggul di Sumsel
Sementara itu, pengamat politik, Putu Suasta mengatakan tulisan-tulisannya dalam buku antologi pemikiran ini sepenuhnya menyuratkan serpihan-serpihan pemikirannya yang bernas terhadap realita sosial.
"Kawan saya ini begitu 'care' terhadap masalah sehari-hari yang dilihatnya berjalan tak sebagaimana mestinya. Masalah yang disorot relatif masih umum, seperti masalah hukum, ekonomi, demokrasi. Namun dengan cara pandangnya telah memperkaya khasanah pemikiran-pemikiran dalam bidang dinamika sosial," ujarnya.
Yang menarik, lanjut dia, Pria Dharsana menyubjek pokok pikirannya dari realitas sehari-hari. Dengan begitu, pembaca diundang untuk mengetahui seberapa besar kadar persoalan yang selama ini tersembunyi dari realitas yang tidak mereka pahami selama ini.
"Pokok-pokok pikiran yang begitu gamblang, realistis dan menjadi permasalahan bersama sering kali menggoda curiosity pembaca untuk menyelami logika pemecahan yang ditawarkan Pria Dharsana," ucap pria alumni Cornell University Ithaca New York, Amerika Serikat itu.
Selain menawarkan pemikiran-pemikiran penulis, juga sangat kuat menandai bahwa penulis buku ini menguasai pula lapangan. "Beliau ada di tengah kemelut persoalan yang terjadi, melihat dan merasai semua peristiwa. Inilah mengapa dalam tulisannya terasa cukup kental menandai bahwa penulis buku ini menguasai pemikiran dan dunia empirik," katanya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang diungkapkan dalam buku ini, yakni pengungkapan eksplisit bahwa di alam keterbukaan ini semua ikhwal informasi yang bersangkutan dengan hak hidup orang banyak, kedua kajian pemikiran yang menguatkan perspektif hukum dan kelugasannya dalam menyampaikan pokok-pokok risalahnya begitu jelas, jalan pikirannya gamblang dan komunikatif, sehingga tulisan-tulisan dalam buku ini mudah diselami dan diapresiasi.
"Dengan kehadiran buku ini akan menjadi begitu penting mengingat sedikitnya para intelektual yang menyajikan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk buku, terutama di Bali. Kepentingan pragmatis jauh lebih diutamakan ketimbang kepentingan pemikiran," ujar Putu Suasta.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019