Jangan sampai mereka sekolah di luar negeri, namun kemudian menetap. Ini yang perlu dikhawatirkan (siswa berprestasi bekerja dan mengabdi di negara lain, red.)

Jakarta (ANTARA) - Meskipun sempat minder karena mendapatkan nilai kurang pada pelatihan olimpiade internasional, hal tersebut tidak membuat semangat Muhammad Adyan Dafi untuk meraih prestasi menjadi surut.

Siswa IX Cahaya Rancamaya, Bogor, Jawa Barat tersebut, berhasil meraih medali perak dalam ajang "The 16th International Junior Science Olympiad (IJSO) 2019" di Doha, Qatar, yang berlangsung selama 3 hingga 12 Desember 2019.

Dafi berhasil meraih medali perak bersama dengan lima siswa lainnya, yakni Berwyn (SMP Kristen 6 Penabur), Christopher Ivan Budiwardhana (SMPK Penabur Gading Serpong), Jonathan Tjandra (SMP Kristen Calvin), Michael Evan Djunaidi (SMP IPEKA Puri), dan Rafif Dista Serano (SMP Internat Al Kausar).

Indonesia berhasil meraih lima medali perak dan satu medali perunggu pada ajang tersebut. Dalam olimpiade IJSO itu, tim India berhasil keluar sebagai juara umum dengan meraih enam medali emas.

Sejumlah negara yang turut serta dalam ajang bergengsi tersebut, seperti Amerika Serikat, Spanyol, Tiongkok, Kanada, Prancis, India, Taiwan, dan lainnya. Jumlah negara yang ikut serta dalam ajang tersebut tercatat 72 negara dengan jumlah 400 peserta.

Remaja yang akrab disapa Dafi itu, menceritakan tentang perjalanannya di IJSO dimulai dari Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2019 di Yogyakarta untuk kategori IPA. Pada OSN, Dafi berhasil meraih medali perunggu.

Meskipun mendapat medali perunggu, Dafi berhasil masuk ke dalam pemusatan latihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Baca juga: Indonesia raih medali olimpiade sains internasional di Botswana

Pada awalnya, pembinaan dilakukan dengan jumlah peserta mencapai 30 orang, kemudian diseleksi kembali menjadi 15 peserta. Pada saat itu, nilainya sempat turun dan hal itu membuat dia menjadi minder.

Namun, hal itu tak menyurutkan semangat dia untuk belajar lebih giat. Setelah dilakukan pembinaan dan diseleksi maka ditetapkan yang berangkat ke IJSO berjumlah enam peserta.

"Awalnya sempat kecewa karena mendapat medali perak pada IJSO 2019, karena Indonesia sudah dua tahun tidak mendapatkan medali emas. Tapi nyatanya meraih medali perak," kata Dafi di Jakarta, Selasa.

Dalam IJSO tersebut, Dafi mendapatkan bagian untuk bidang biologi. Penilaian yang dilakukan terdiri atasi tiga bagian, yakni pilihan ganda, esai, dan eksperimen.

Untuk eksperimen, Dafi dan timnya harus mengetahui bagaimana membedakan air garam dan air tawar dengan bahan makanan.

"Pada saat eksperimen, kami lupa memasang strategi. Untuk biologi sudah selesai, tapi untuk kimia dan fisika ternyata belum selesai dan ternyata salah ambil data," kata remaja yang mempunyai cita-cita menjadi dokter itu.

Dafi yang juga hafal empat juz ayat Al Quran tersebut, mengaku tidak mempunyai resep khusus dalam meraih medali.

Setiap hari, sebelum bertanding, ia belajar setelah shalat Subuh dan dilanjutkan pada saat senggang.

Tertarik
Ketertarikan Dafi dalam sains, dimulai sejak ia duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Saat itu, dia melihat kakaknya ikut lomba OSN dan berhasil meraih juara.

Ia kemudian diikutkan orang tuanya untuk ikut bimbingan belajar. Sebagai bahan belajarnya, remaja yang kurang suka dengan pelajaran bahasa ini menggunakan berbagai soal olimpiade yang dimiliki kakaknya.

Baca juga: Siswa Kalbar ikut IJSO di Afsel

Mantan siswa SDN 4 Menteng, Palangkaraya itu kemudian berhasil meraih emas pada OSN 2016 Palembang, Sumatera Selatan.

Ia kemudian melanjutkan sekolah di SMP Cahaya Rancamaya. Sekolah berasrama tersebut menyediakan penggemblengan bagi para juara OSN.

"Saya memilih sekolah di Pulau Jawa, karena bagus penggemblengannya untuk anak-anak yang ikut olimpiade sains, sedangkan kalau di Kalimantan, saingannya kurang," terang dia.

Saking senangnya mengikuti kejuaraan sains, Dafi memilih mengikuti pelatihan sains pada liburan sekolah. Dafi mengikuti pelatihan selama sepekan yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

Sementara itu, General Manager (GM) Cahaya Rancamaya Islamic Boarding School Ari Rosandi mengatakan harus ada perbedaan perlakuan kepada siswa yang memiliki potensi agar berkembang secara optimal sebagaimana mestinya.

"Kami melakukan penggemblengan pada mereka. Kami terus asah dan poles serta memberikan pelatihan intensif," terang dia.

Baca juga: Kemendikbud : sains satukan perbedaan yang ada

Ari menambahkan sebaiknya pemerintah harus mendata siswa yang berprestasi maupun juara olimpiade.

Melalui pendataan tersebut, diketahui ke mana siswa berprestasi itu melanjutkan pendidikan.

"Jangan sampai mereka sekolah di luar negeri, namun kemudian menetap. Ini yang perlu dikhawatirkan (siswa berprestasi bekerja dan mengabdi di negara lain, red.)," kata dia.

Selain itu, sekolah yang terletak di Bogor tersebut juga memberikan perhatian kepada anak berasal dari keluarga tidak mampu. Dengan memberikan kuota 10 hingga 20 persen untuk anak-anak tidak mampu setiap tahunnya.

Meskipun demikian, ada sejumlah syarat yang dipenuhi bagi siswa yang ingin sekolah di SMP Cahaya Rancamaya, yakni harus hafal minimal 17 juz Al Quran, kemudian ada rekomendasi dari tokoh masyarakat, dan dari keluarga tidak mampu.

Ari menambahkan setelah seleksi administrasi dilakukan, akan dilakukan seleksi tes potensi akademik di mana siswa yang lolos selanjutnya akan mendapatkan beasiswa hingga lulus sekolah.

Pihaknya ikut mendata siswa berprestasi dengan cara seperti itu dan selanjutnya mengajak mereka sekolah di tempat tersebut untuk dikembangkan berbagai bakatnya.

Baca juga: Indonesia raih lima emas olimpiade sains junior
Baca juga: Berawal dari mainan kalkulator, jadi juara olimpiade

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019