Yogyakarta (ANTARA) - Maestro tari asal Kota Solo Eko Supriyanto berkomitmen untuk konsisten mengangkat beragam tarian tradisional Indonesia sebagai salah satu sarana diplomasi budaya di kancah internasional.
"Kita harus membuka wacana baru bahwa ragam budaya kita patut dikenalkan di dunia internasional," kata Eko saat berbicara dalam sesi diskusi "Keunggulan Lokal dan Solusi Keunggulan Global" pada Konvensi Nasional Humas 2019 di Yogyakarta, Selasa.
Menurut Eko, konsistensi itu antara lain diwujudkan dengan terus meneliti dan menggali kekayaan tarian tradisional Indonesia. Beragam tarian tradisional itu kemudian dikemas kembali dengan tema-tema khusus yang mampu merespons isu global.
Salah satu mahakaryanya yang telah mendunia di antaranya adalah pertunjukan tari berjudul "Cry Jailolo". Tarian itu merupakan buah krearivitasnya dengan mengangkat gerakan-gerakan tari tradisional Maluku Utara.
"Cry Jailolo" tak sekadar menjadi sebuah tontonan, melainkan sebuah karya seni tari yang mampu merespons isu global yakni hancurnya terumbu karang di dunia, pembunuhan hiu secara massal, hingga sampah di lautan.
"Jadi tarian ini tidak hanya menjadi sebuah produk, tapi dapat diletakkan sebagai sebuah diskursus global," kata pria yang sempat menjadi penata tari dalam konser diva pop Madonna ini.
Menurut dia, usaha untuk mengangkat budaya lokal dapat dimunculkan melalui berbagai karya seni dan budaya, tak terbatas pada tarian. "Karena saya penari, maka yang saya kerjakan adalah tarian tidak mungkin saya ngomong tenun," kata dia.
Meski demikian, kata dia, untuk menghasilkan karya-karya yang mendunia harus berani membuka diri dengan mempelajari budaya-budaya luar.
"Yang pasti saya sebagai penari, dengan mempelajari budaya luar akan menambah perbendaharaan kita. Misalnya mempelajari strategi bagaimana K-Pop (Korean Pop) bisa terkenal," kata dia.
Di era globalisasi saat ini, menurut dia, generasi muda memiliki potensi besar untuk mempromosikan kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian, perlu terus didukung dan tidak memandang mereka sebelah mata.
"Yang kadang-kadang menjadi latah itu bahwa generasi muda itu tidak suka dengan budaya lokal, dengan tradisi dan pengaruh budaya luar sangat kuat dan lain sebagainya. Saya kira ini sangat menyudutkan generasi muda kita," kata dosen koreografi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019