Tanjungpinang (ANTARA News) - Siti Murifah, 28 tahun, hanya dapat berdiri, memegang dinding di ruang perehatan (istirahat) rumah Singgah Engku Putri Kepri di Tanjungpinang.Sesekali giginya merapat, wajahnya sendu menahan perih. Ia bahkan tidak dapat mandi karena ada luka di tubuhnya.Mata sebelah kiri Siti membiru, sedikit membengkak akibat pukulan benda tumpul."Sakit. Sakit sekali," kata Siti menjerit menahan sakit, Kamis.Jari tangan kanannya digenggam kuat menahan sakit, sementara jari jemari tangan kirinya tidak dapat digerakkan karena keseleo."Seumur hidup, baru sekali ini aku dianiaya orang Malaysia," ucap Siti yang telah dua hari mengenakan pakaian bercorak batik. Dua bulan lalu, ibu beranak dua itu masih segar berada di kampungnya, Jember, Provinsi Jawa Timur (Jatim). Siti hidup bahagia meski serba kekurangan. Ia masih dapat memberikan kasih sayang kepada suami dan kedua anaknya. Pendapatan sehari-hari suaminya yang bekerja sebagai buruh tidak dapat menutupi kebutuhan keluarga. Kondisi itu membuat Siti tidak tahan. Ia ingin membantu suaminya mencari nafkah keluarga. Tidak ada lowongan kerja bagi dia yang hanya tamatan sekolah dasar. Tawaran kerja sebagai pembantu rumah tangga dari Pak Kus, seorang tekong TKI di Jember membuatnya tergiur. Pikirannya semakin buyar setelah diiming-imingi uang ringgit Malaysia. Apalagi, Siti tidak dikenakan biaya sedikit pun untuk menjadi TKI di Malaysia. "Uang ringgit itu nilainya lebih besar dari rupiah. Itu buat aku tergiur," katanya. Pak Kus mengurus paspor yang dibutuhkan Siti untuk sampai di Malaysia. Paspos yang dibuat Pak Kus ternyata bukan paspor tenaga kerja, melainkan paspor wisata. Pak Kus mendapat untung karena berhasil merayu Siti menjadi TKI. Pada 28 Juli 2008 Siti diantar ke rumah Elo, salah seorang tekong TKI di Tanjungpinang. Siti diajarkan Elo untuk membohongi petugas Imigrasi pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjungpinang yang menanyakan tujuannya ke Malaysia. "Aku disuruh jawab ke Malaysia hanya untuk main-main, bukan kerja," katanya. Petugas Imigrasi tidak mencurigainya. Siti pun tiba di Malaysia. "Di Malaysia ada tekong TKI yang jahat," ujarnya. Selama 15 hari Siti berada di penampungan TKI di Johor, Malaysia. Selama itu pula ia menerima siksaan dan ancaman dari agen TKI. Paspornya juga ditahan agen TKI tersebut. Sayangnya, Siti tidak mengetahui identitas dan alamat agen TKI di Malaysia tersebut. "Setiap kali aku tanya kapan mulai bekerja, hanya dijawab dengan pukulan, makian dan ancaman," kata dia. Hingga akhirnya Siti bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga. Kehidupannya mulai berubah. "Aku tak tahu nama majikanku," katanya. Majikannya cukup baik dan memperhatikan keluarganya di Jember. Baru 15 hari bekerja, Siti dapat mengirimkan uang sebesar 300 ringgit Malaysia. Padahal sesuai perjanjian, gajinya sebesar 600 ringgit Malaysia harus dipotong selama enam bulan. "Majikan beri bonus, karena aku rajin dan patuh," katanya. Tapi sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Siti kembali mengalami siksaan dari agen TKI di Johor, Malaysia. Paspor milik Siti yang ditahan agen TKI di Johor dipertanyakan majikan. Majikan mengeluhkan permasalahan itu kepada agen. Lagi-lagi Siti disuruh berbohong. Agen yang menyalurkan Siti bekerja di Malaysia memerintahkan Siti berbohong kepada Konsulat Jenderal RI. Ia diminta membuat laporan palsu bahwa paspornya hilang ketika rumah majikannya dirampok. "Aku menolaknya," katanya. Penolakan itu berakibat buruk bagi Siti. Agen TKI itu kembali menganiaya Siti. Siti ditendang hingga tulang belakang badannya retak dan tangannya dipelintir hingga keseleo. "Wajahku dipukul berulang-ulang. Dia seperti bukan manusia," ujarnya. Karena merasa tidak tahan, Siti minta ampun kepada agen TKI tersebut dan bersedia membuat laporan palsu kepada Konsulat Jenderak RI di Malaysia. "Aku malah melaporkan perbuatan agen TKI tersebut dan minta perlindungan konsul," kata dia. Selama dalam perlindungan Konsulat Jenderal RI di Malaysia, Siti bertemu dengan Suharti, 16 tahun, TKI asal Flores yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Batu Pahat, Malaysia. Meski belum sempat menikmati ringgit setelah tiga bulan bekerja di Batu Pahat, Malaysia, Suharti lebih beruntung dibanding Siti karena berhasil melarikan diri dari Ameng, majikannya berulang kali berusaha memperkosanya. "Sudah tiga kali majikan berusaha memperkosa aku, tapi tak berhasil karena aku menjerit," kata Suharti. Ameng seperti berlagak seperti seorang suami yang baik di hadapan istrinya. Namun setiap kali istrinya tidak berada di rumah, Ameng mulai merayu Suharti. Rayuan Ameng tidak direspon Suharti hingga akhirnya Ameng menggunakan cara yang sedikit memaksa. "Tiga kali sudah cukup aku melawannya. Kemudian aku laporkan ke polisi. Polisi Malaysia menyerahkan aku kepada Konsulat Jenderal RI," ujarnya. Wanita bertubuh ramping itu mengaku tidak dapat menulis dan membaca. Usia di dalam paspornya dipalsukan atau ditambah menjadi 19 tahun agar dapat bekerja di Malaysia. Ia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun untuk bekerja di Malaysia. "Karena itu gaji sebesar 600 ringgit per bulan dipotong selama enam bulan," katanya. Siti dan Hartini merasa jera bekerja di Malaysia. "Tak dapat untung, tapi malah disiksa. Lebih baik usaha kecil-kecilan di kampung," kata Siti. Humas Rumah Singgah Engku Putri Kepri, Lalu Ahmad Radian mengatakan, Siti dan Suharti akan dipulangkan ke kampungnya setelah mendapatkan perawatan medis. "Paling lama mereka berada di Tanjungpinang dua minggu," kata Lalu. Berdasar data korban perdagangan orang yang dimiliki Rumah Singah Engku Putri, sebagian besar korban perdagangan orang berasal dari TKI (wanita). Kasus yang dialami TKI antara penganiayaan, kerja paksa dan penipuan. Tahun 2007 korban perdagangan orang yang ditangani Rumah Singgah Engku Putri sebanyak 117 orang, sedangkan tahun 2008 sebanyak 189 orang. "Sekitar 90 persen korban perdagangan orang yang kami tangani adalah mantan TKI," katanya. Berdasarkan data Imigrasi Tanjungpinang, jumlah TKI bermasalah yang diusir dari Malaysia menuju Tanjungpinang pada Januari-September tahun 2008 sebanyak 26.122 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 18.942 orang, perempuan 6.830 orang dan anak-anak 350 orang. Sebagian besar TKI bermasalah menggunakan paspor wisata untuk bekerja di Malaysia.(*)
Oleh Oleh Nikolas Panama
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008