Jakarta (ANTARA News) - Terlalu berlebihan bila menuding Amerika Serikat sebagai bangsa yang rasis. Tapi, politik rasisme sedang jadi guncingan panas di negeri Paman Sam pada hari-hari terakhir menjelang pemilihan presiden bulan Nopember mendatang.Para analis dan komentator sibuk memperdebatkan, apakah memilih Barack Obama sebagai Presiden merupakan sebuah upaya melawan rasisme yang selama ratusan tahun berjalan di Amerika Serikat?.Apakah seorang kulit hitam di Gedung Putih (garis bawahi kata Putih) akan mengakhiri secara simbolik kredo politik AS bahwa hanya kulit putih yang berhak memimpin negara pembela kapitalis itu?. Selama ini dalam sejarah politik AS diyakini bahwa hanya M-W-P-A yang bisa menjadi pemimpin politik tertinggi di negeri itu. MWPA adalah singkatan dari Male (laki-laki), White (Kulit Putih), Protestant (Beragama Protestan) dan Anglo-Saxon (berasal dari nenek moyang dari Eropa, khususnya Inggris). Kredo MWPA ini tidak terlepas dari sejarah panjang asal usul bangsa AS yang oleh para pendiri bangsanya didirikan atas fondasi yang sebetulnya berbau rasisme dan bias gender. Itulah sebabnya, dari 42 Presiden AS sampai sekarang tidak pernah ada yang kulit hitam atau kuning. Belum ada wanita yang jadi presiden atau wakil presiden. Belum ada orang Amerika keturunan Afrika atau Asia yang duduk di Gedung Putih. Memang pernah ada John F Kennedy yang beragama Katholik jadi Presiden, tapi kemudian dia ditembak di Dallas. Munculnya Obama sebagai kandidat presiden yang populer menjungkirbalikan fondasi dasar sistem politik AS. Obama memang laki-laki, tapi dia kulit hitam, berasal dari Afro-Amerika. Meskipun dia sudah mengumumkan beragama Protestan, tetapi tetap saja dihubungkan dengan latar belakang masa kecilnya yang pernah bersekolah di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Jadi, seperti dikemukakan komentator politik Ron Jacobs, Pemilu di AS akan menjadi tonggak sejarah baru sistim politik di negeri itu. Pilihannya bukan lagi pada Partai Republik atau Partai Demokrat. Pilihannya bukan lagi pada John McCain atau Barack Obama. Tapi pilihannya adalah apakah bangsa AS akan mengakhiri kredo MWPA atau tidak? Sudah relakah bangsa AS dipimpin oleh "orang yang bukan satu di antara kita" (meminjam istilah kandidat wakil presiden Sarah Palin). Sebagian warga AS dengan tegas menyatakan tidak. Dalam alam bawah sadar bangsa AS, rasisme berurat berakar sepanjang sejarah berdirinya bangsa itu. Sampai saat ini di dalam alam pikiran jutaan rakyat AS, mereka belum bisa menerima dengan ikhlas seorang lelaki kulit hitam, bersama isteri dan anak-anaknya, bisa tinggal di sebuah gedung yang namanya saja jelas-jelas "White House" atau Gedung Putih. "Orang kulit hitam di Gedung Putih? It is not American dream, but American nightmare," komentar seorang warga di kampanye Palin. Bukan Amerika Kelompok sayap kanan mengumbar tudingan yang mengasosiasikan Obama dengan Osama bin Laden dan orang yang membenci Amerika. Mereka mengkampanyekan bahwa latarbelakang multikultural Obama yang lahir dari ayah yang berasal dari Kenya dan masa kecil di Indonesia- sebagai bukan Amerika (Unamerican). Fakta itu sebagai ancaman atas keamanan nasional AS. Tidak heran jika dalam kampanye Partai Republik, terutama kampanye Sarah Palin, muncul sentimen rasis terhadap Obama. Teriakan-teriakan "kill him" dan "terrorist" kerap terdengar dan mengumandang. Banyak yang khawatir Obama akan ditembak seperti halnya JFK, sehingga pengamanannya belakangan ini diperketat dan diperkuat. Jika Obama memenangi Pemilu, maka bangsa AS memasuki babak baru. Obama akan mengakhiri dominasi politik kulit putih di Gedung Putih. Masuknya Obama di lingkaran utama arus besar kekuatan politik AS menjadi sesuatu yang bersejarah. Jika benar nanti Obama disumpah menjadi orang nomor satu di AS, maka nilai kesejarahan Obama bisa disandingkan dengan Abraham Lincoln yang mengakhiri perang saudara yang sangat berdarah dan sekaligus mengakhiri perbudakan di AS. Obama di Gedung Putih membuktikan bahwa impian Amerika seperti dikemukakan tokoh kulit hitam Martin Luther King terwujud dan menjadi kenyataan. Marthin Luther King terkenal dengan pidato "I have a dream" yang membara pada 28 Agustus 1963. Pidato di depan makam Abraham Lincoln yang dihadiri 250.000 demontran kulit hitam itu menjadi salah satu pidato yang penuh inspirasi dan mengubah dunia, setidaknya AS. Dengan suara menggelegar, King di podium memegang mikrofon berujar, "Saya punya mimpi bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan kredonya bahwa setiap orang memiliki hak yang sama. "Saya punya mimpi bahwa empat anak saya suatu saat akan hidup dalam sebuah negara di mana dia tidak lagi dilihat dari warna kulitnya, tapi dari sikap tindak perbuatannya. "Saya punya mimpi bahwa suatu saat di bukit Georgia ini anak-anak para budak dan anak-anak pemilik budak akan bisa duduk bersama di meja persaudaraan. "Inilah harapan kita. Saatnya kita mengakhiri ketidakadilan rasial dan menuju kepada persaudaraan yang kokoh. "Kita harus mempercepat terwujudnya impian itu di mana seluruh anak-anak Tuhan: kulit hitam dan kulit putih, Yahudi dan Muslim, Protestan dan Khatolik, bisa bergandeng tangan dan bernyanyi seperti hymne spritual Negro: Bebas! Akhirnya Bebas!" Pidato itu dikumandangkan lebih dari 40 tahun lalu. Jika Obama menang bulan depan dan masuk Gedung Putih, berarti diperlukan waktu empat dekade untuk mewujudkan impian itu. Sebaliknya, jika McCain yang berjaya, pejuang-pejuang persamaan hak dan anti-rasisme masih memerlukan waktu untuk mewujudkan impian Marthin Luther King tersebut. Tapi, paling tidak, AS akan punya wanita pertama, Sarah Palin, yang menjadi wakil presiden. Tidak terlalu buruk. (*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008