Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 100 orang dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar aksi unjukrasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis, untuk mendesak pemerintah dan rakyat agar menolak sistem kapitalisme ala Amerika Serikat. Menurut Juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto, dalam pernyataan tertulisnya, krisis finansial global yang bermula di Amerika Serikat membuktikan rapuhnya sistem kapitalisme yang dijalankan di negara tersebut. Sistem kapitalisme di AS, ujar dia, merupakan penyebab dari terseretnya banyak negara lain untuk mengalami krisis finansial serupa. Ia berpendapat bahwa hal itu juga disebabkan karena pemerintah AS pada dekade 70-an tidak lagi memperbolehkan simpanan emasnya untuk ditukar dengan mata uang dolar AS. Hal ini menyebabkan mata uang dolar AS sangat mendominasi perekonomian global dan menjadi persentase terbesar dalam cadangan devisa di banyak negara. Untuk itu, HTI menginginkan agar emas dan perak dapat dimasukkan kembali sebagai mata uang, terutama dalam bentuk dinar dan dirham seperti masa Nabi Muhammad SAW. Selain itu, para pengunjukrasa juga menuntut agar sistem perekonomian ribawi, seperti bunga pinjaman bank tidak lagi digunakan untuk kemaslahatan bidang perekonomian. Ismail juga mengemukakan bahwa sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal juga memicu terjadinya spekulasi yang bisa diperoleh antara lain melalui cara-cara yang manipulatif. Sebelumnya, Ketua LSM Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan pada Selasa (14/10) mengemukakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa saja ditutup, bila ternyata malah menyebabkan Indonesia lebih terperosok ke dalam pusaran krisis finansial global terkini. "Saya kira, usul untuk membubarkan atau menutup BEI perlu diwacanakan karena sebenarnya tidak semua negara di dunia memiliki bursa efek atau pasar saham," kata Dani. Menurut dia, negara-negara yang tidak memiliki bursa efek seperti sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, Afrika, dan Timur Tengah merupakan negara yang paling tidak terpengaruh oleh krisis finansial saat ini. Ia menegaskan, bursa efek menyebabkan Indonesia sangat tergantung dengan rentan pergerakan yang terjadi di sejumlah bursa lainnya seperti Amerika Serikat, terutama dalam masa krisis seperti ini. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008