Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta tetap mampu menjaga agar sektor finansial tidak panik, sehingga dampak buruk krisis keuangan di AS dan Eropa dapat diredam, kata Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemn (LPEM) UI Chatib Basri.Chatib mengemukakan hal tersebut dalam diskusi bertajuk "Krisis Keuangan di AS: Dampaknya Bagi Ekonomi Dunia, Bisnis dan Indonesia", di Jakarta, Rabu malam."Tidak satu negarapun yang bisa tahan terhadap situasi dari `financial turbulance` di AS dan Eropa, akan tetapi kalau direspon dengan cara yang tepat, tidak panik serta dan didukung fundamental ekonomi yang kuat maka dampaknya terhadap Indonesia bisa sangat minim," ujarnya.Ia menjelaskan, dalam kondisi krisis keuangan global dan ditambah penurunan harga komoditi saat ini, ekspor Indonesia diperkirakan akan menurun yang akhirnya bakal menekan pertumbuhan. Sementara kebutuhan dana besar oleh AS untuk menginjeksi sistem keuangannya, akan memicu percepatan arus modal keluar (capital outflow) dari negara ekonomi sedang berkembang (emerging market) seperti Indonesia. "Kalau ini terjadi (arus modal keluar) maka akan menekan mata uang negara yang bersangkutan dan pertumbuhan juga akan menurun," ujarnya. Menurut Chatib, antisipasi yang dilakukan pemerintah saat ini sudah pada jalur yang benar seperti menjamin dana tabungan nasabah di bank dari Rp200 juta menjadi Rp2 miliar. "Langkah ini yang tepat membuat masyarakat tidak panik, sehingga tidak ada alasan atau rumor bahwa suatu bank akan kolaps karena `rush` (penarikan dana besar-besaran-red) ," katanya. Selain itu, kebijakan pemerintah membuat Perpu Jaringan Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) menjadi sangat penting karena pemerintah memiliki alat atau payung untuk selalu siap sewaktu-waktu mengatasi krisis likuiditas. Selanjutnya kebijakan Bank Indonesia dengan melonggarkan likuiditas juga membuat bank itu bisa lebih gampang dalam menghadapi situasi. Tetapi, ujarnya, yang juga tidak kalah penting harus dilakukan pemerintah adalah memberikan sinyal kepada dunia usaha dan investor global adalah konsistensi dari indikator makro ekonomi nasional. Seperti neraca pembayaran yang selalu positif, dan berupaya memperkecil defisit anggaran (APBN) dari sekitar 1,9 persen pada 2008 menjadi sekitar 1,3 persen pada RAPBN 2009. Jika neraca pembayaran positif yaitu ekspor lebih besar dari pada impor maka "capital outflow" tidak perlu dikhawatirkan, demikian halnya dengan mata uang rupiah cenderung akan menguat.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008