Jakarta (ANTARA) - Wacana Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati bagi koruptor menuai pro dan kontra. Sebelumnya, Presiden Jokowi berkata hukuman mati terhadap koruptor dapat dilakukan bila rakyat menghendaki. Jokowi melontarkan wacana itu ketika berkunjung ke pentas Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta pada Hari Antikorupsi Sedunia.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi mati sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walau pun amendemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tetapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu korupsi juga berdampak pada kemiskinan masyarakat dan membuat negara mengalami kerugian besar akibat uang negara dicuri koruptor. Para koruptor yang dihukum mati adalah para perampok uang negara jutaan, miliaran bahkan triliunan rupiah.
Sementara kelompok yang menentang beranggapan hukuman mati bagi koruptor tidak akan efektif dalam mengurangi tindak pidana pidana korupsi di Indonesia sehingga hal itu bukanlah solusi yang baik. Hukuman mati tidak pernah mencegah kejahatan apa pun.
Baca juga: Saut Situmorang sebut rencana hukuman mati koruptor cerita lama
Tindak korupsi masuk dalam wilayah extra ordinary crime, (kejahatan yang luar biasa) yang menyangkut korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan terorisme. Kalau korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary), mestinya penanganannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Namun, sampai sekarang kita lihat masalah ini sama sekali belum ditangani maksimal.
Masalah narkoba dan terorisme sudah diatur dengan sanksi tegas, yaitu hukuman mati. Sebagaimana diketahui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengamanatkan bahwa pembenaran terhadap kebijakan penerapan pidana mati, secara formal, dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diberlakukan di Indonesia.
Sudah beberapa teroris yang menjalani hukuman mati ini sebagai langkah pemerintah untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku.
Kemudian, Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur sanksi pidana bagi pelaku penyalahguna narkoba. Upaya untuk memberantas Kejahatan Narkoba menghadirkan undang-undang yang memiliki sanksi pidana yaitu sebagai Pengguna dan/ atau Pengedar. Terhadap pelaku sebagai pengedar dimungkinkan dikenakan Sanksi Pidana yang paling berat berupa Pidana Mati seperti yang diatur dalam pasal 114 ayat (2).
Sanksi pidana mati merupakan hukuman yang terberat dalam hukum pidana di Indonesia diharapkan penerapannya dilaksanakan melihat dampaknya yang sangat merugikan negara terlebih individu itu sendiri.
Baca juga: Komnas HAM tegaskan tak sepakat hukuman mati koruptor
Bagaimana dengan kasus korupsi? Sampai sekarang berlum tersentuh dengan undang-undang yang mengancam para pelaku dengan hukuman mati. Pemerintah mestinya lewat kementerian Hukum dan HAM mendorong adanya Rancangan Undang-Undang yang mengatur bukan hanya soal hukuman mati koruptor, tetapi juga perampasan aset koruptor, dengan harapan dengan undang-undang itu akan timbul efek jera.
Pidana mati dalam tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2). Pasal 2 ayat (2) ; "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".
Penjelasan pasal 2 ayat (2) disebutkan, "Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi".
Perihal pemberlakuan hukuman mati koruptor di Indonesia selama ini memang baru sebatas menjadi wacana yang terus digulirkan beberapa tahun terakhir. Dan belakangan diwacanakan kembali oleh Presiden Jokowi.
Argumen yang mendorong ditetapkan hukuman mati bagi koruptor karena hukuman mati dirasa akan menimbulkan efek jera bagi masyarakat lainya sehingga takut untuk berbuat tindakan serupa, dan sebaliknya, penghapusan hukuman mati akan meningkatkan angka kejahatan korupsi yang makin masif.
Baca juga: Marzuki Darusman: Hukuman mati tergantung "political will" pemerintah
Sejak Hukum Pidana berlaku di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie, tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yag sangat ditakuti umum.
Dengan suatu putusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman sama, diharapkan masyarakat menjadi takut.
Di samping itu, suatu pendirian "dalam mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan" ada di tangan pemerintah. Oleh karena itu, hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilanya. Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran.
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis. Begitu pula, para koruptor, sebagai contoh; dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menghancurkan perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak menikmati malah ikut menanggung kesengsaraan berkepanjangan.
Kegeraman masyarakat cukup beralasan, mengingat banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah akhirnya divonis bebas.
Para koruptor itu tetap bisa bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera bagi para koruptor, namun ada beberapa bukti yang dilakukan di beberapa Negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Baca juga: Pengamat: Hukuman mati koruptor jangan sampai hanya sebatas wacana
Sebagai contoh, Negeri China. "Setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati akibat tindak pidana korupsi. Mulai tahun 2000, China membongkar jaringan penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat China di Provinsi Fujian. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah dan 11 orang dihukum mati.
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan shock therapy oleh pemimpin-pemimpin China."Pemberantasan korupsi adalah urusan hidup dan mati partai," demikian semboyan yang terus didengungkan pemimpin-pemimpin China, terutama PM Zhu Rongji, yang dikenal sebagai salah satu Mr Clean.
Tradisi hukuman mati diteruskan Presiden Xi Jinping, orang paling berkuasa dan terkuat sepanjang sejarah modern China. Bahkan, para pendahulunya pun berhasil dia tandingi. Ia adalah sosok yang hebat dan berpengaruh sejak Deng Xiaoping, namun tetap saja kekuasaannya punya batas.
Kampanye anti-korupsinya meluas ke seluruh negeri dianggap sebagai upaya mengonsolidasikan kekuatannya dan membuatnya semakin terkenal di antara rakyat jelata. Setelah dideklarasikan sebagai core leader di akhir 2016, para analis politik mengatakan Xi bersiap mengubah tradisi dua dekade China dan bakal tetap berkuasa setelah masa kedua kepemimpinannya sebagai ketua Partai Komunis berakhir pada 2022.
Di berbagai negara mempunyai kiat-kiat tersendiri untuk menekan tindakan korupsi contohnya adalah hukuman mati, negara Tiongkok telah menerapkan hukuman mati bagi para penjahat koruptor, Jepang para pelaku koruptor karena malu maka memilih bunuh diri karena malu oleh negara, Korea Utara belakangan ini menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, Arab Saudi menerapkan hukum pancung bagi pelaku pencuri uang negara, dan di negara Jerman hukuman seumur hidup dan mengambil kembali harta yang dimiliki pelaku koruptor untuk negara.
Baca juga: Yasonna: Hukuman mati untuk koruptor masih di tataran wacana
Apakah kemudian hukuman mati bagi para koruptor hanya akan kembali menjadi wacana oleh pemerintahan Jokowi.
Tentu saja kita berharap, selain komitmen pemerintah, terutama dukungan publik, nampaknya sekarang ini bola ada di tangan DPR yang harus segera merespons desakan publik atas adanya inisiatif membuat undang-undang yang mengatur tentang hukuman mati bagi koruptor.
Kemudian komitmen rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum masih setengah hati dalam menindak para koruptor dengan memberi hukuman rendah, member remisi, dll juga harus dievaluasi.
Bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena. Lalu, bagaimana dengan para koruptor yang menimbulkan efek domino, telah melakukan kejahatan ekonomi, membuat rakyat kian sengsara.
Tidak pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat berkepanjangan?
*) Suryanto adalah staf pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
Copyright © ANTARA 2019