Jakarta (ANTARA News)- Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bojonegoro, Jawa Timur, mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KaPolri) memasukkan penyimpangan harga jual pupuk sebagai kejahatan ekonomi tingkat satu.
"Bagaimana pun masalah pupuk membawa dampak buruk terhadap petani di pedesaan kalau di lapangan terjadi penyimpangan," kata Ketua KTNA Bojonegoro Sarif Usman di Bojonegoro, Rabu.
KTN menilai pupuk adalah merupakan barang bersubsidi sehingga seharusnya di awasi ekstra di lapangan termasuk oleh polisi.
Sarif menjelaskan, permasalahan penyimpangan harga pupuk tak pernah berubah dari tahun ke tahun di mana petani selalu kesulitan mendapatkan pupuk saat masa tanam dimulai.
Di masa itu harga pupuk biasanya akan melonjak jauh dari harga eceran tertinggi (HET) dan ironisnya tidak pernah diusahakan diselesaikan tuntas oleh Pemerintah.
"Petani selalu panik ketika membutuhkan pupuk karena harganya selalu tinggi. Padahal, pupuk merupakan barang yang disubsidi Pemerintah," katanya.
HET yang ditetapkan Pemerintah menyebutkan pupuk phonska dihargai Rp86.000 per sak dan di kios resmi mencapai Rp87.000. Kenyataan pupuk phonska dijual ke petani Rp95.000 hingga Rp110.000.
Urea HET-nya Rp58.500 per sak dan di kios resmi harga jual Rp60.000, tapi faktanya kios resmi mematok harga hingga Rp110.000.
"Sudah harga di atas HET, barangnya pun selalu langka ketika dibutuhkan," kata Sarif.
Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Parwoto sependapat seraya menyebut peredaran pupuk harus dimasukkan sebagai kejahatan ekonomi. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008