Denpasar (ANTARA) - Belakangan, pendakwah asal Yogyakarta K.H. Ahmad Muwafiq yang akrab disapa Gus Muwafiq menjadi bulan-bulanan di media sosial (medsos) terkait dengan ceramahnya menyangkut Nabi Muhammad saw. yang terkesan merendahkan "manusia pilihan" yang dimuliakan miliaran orang itu.
Tidak hanya "babak belur", tetapi Gus Muwafiq juga merasa dirinya telah "merepotkan" para ulama sepuh akibat perundungan (bully) warganet yang diterima juga menyasar para ulama secara keseluruhan, bahkan organisasi para ulama (Nahdlatul Ulama/NU) sebagai "target" kebencian.
Hal itu sesungguhnya terkait dengan sikap warganet di negara berkembang yang emosional (tidak rasional) dalam menanggapi informasi dari media sosial yang simpang siur tanpa narasumber atau bahkan dimanipulasi. Namun, justru diyakini sebagai kebenaran.
Hampir mayoritas warganet sangat mudah percaya hanya karena informasi medsos yang berbentuk foto atau video. Mereka sangat meyakini kebenarannya karena ada foto dan videonya sehingga tidak mungkin mengandung unsur manipulasi.
Baca juga: Gus Muwafiq bicara politik uang saat tausiah di KPK
Padahal, foto dan video sekalipun bila di medsos justru sangat mungkin editing, scan, dubbing, dan sebagainya. Bisa jadi video mengalami proses editing dengan memotong bagian tertentu untuk kepentingan tertentu. Bisa jadi, Gus Muwafiq mengalami hal ini sehingga kata-kata "rembes" pun menjadi bahan seminar berhari-hari di medsos.
Tidak hanya editing, foto dan video di medsos pun bisa mengalami proses scanning (pemindaian) dan dubbing (sulih suara). Contohnya, foto Gunung Agung di Karangasem, Bali, yang berjarak 1,5—2 jam dari pusat kota di Denpasar, saat meletus (erupsi) di awal 2017 yang menyebabkan pariwisata merosot drastis itu juga akibat manipulasi gambar.
Saat itu, foto "api menjalar" di Gunung Agung itu benar-benar faktual. Namun, "api menjalar" yang ada sebenarnya bukanlah dari proses letusan/erupsi, melainkan kebakaran hutan. Foto "api menjalar" Gunung Agung langsung di-share dengan caption bahwa Gunung Agung meletus dan dampaknya benar-benar merugikan secara luar biasa.
Contoh lain, foto sejumlah santri yang melakukan demonstrasi saat polemik full day school dengan teriakan para santri yang berbunyi: "Bunuh menterinya... bunuh menterinya... sekarang juga...." Fakta aslinya, foto demonstrasi itu benar namun suara dalam video itu merupakan dubbing dari suara orang lain. Apalagi, santri melakukan perbuatan sadis itu juga tidak logis.
Nah, hal yang sama juga dialami Gus Muwafiq yang merasa video ceramahnya mengalami proses editing (pemotongan) sehingga tidak utuh dan menimbulkan tafsir secara parsial. Namun, hal itu juga menjadi pelajaran baru dan penting bagi para ulama dalam berdakwah pada era medsos.
Baca juga: Tablig kebangsaan PCNU Bogor diisi ceramah Gus Muwafiq
Dibilang pelajaran baru dan penting karena ada juga ulama yang justru terjebak dalam "kubangan" medsos dengan menyebarkan materi ceramah yang tidak jelas sumber kitabnya, bahkan hanya bersumber dari "kitab" medsos. Oleh karena itu, dia akhirnya dilaporkan ke Polda Jabar akibat materi ceramah yang menyebutkan adanya petugas pemilu yang meninggal dunia akibat keracunan.
Apalagi, sang penceramah juga pernah menceritakan dialog antara mantan Presiden B.J. Habibie dengan orang Yahudi yang hafal Alquran, padahal sumber cerita yang disampaikan juga tidak jelas. Namun, cerita "Yahudi hafal Quran" itu telanjur diyakini banyak orang, apalagi video tentang cerita itu juga sudah viral.
Contoh-contoh fatal yang sesungguhnya sangat manipulatif itu akhirnya menjadi sumber perpecahan akibat "permainan" medsos yang "memojokkan" kredibilitas orang lain atau "menularkan" kesalahan akibat informasi yang tidak akurat, tetapi disampaikan penceramah yang dijadikan panutan masyarakat. Fatal, bukan?!
Dalam konteks inilah, pemahaman yang benar bisa muncul untuk SKB 11 Menteri terkait dengan radikalisme yang mungkin bersumber dari aparat sipil negara (ASN) karena ujaran kebencian (hate speech) lewat medsos yang bernuansa radikalisme itu bukan saja merugikan, melainkan sangat merugikan, baik secara ekonomi maupun nama baik seseorang. Setidaknya, SKB 11 Menteri itu bisa membuat seseorang untuk berhati-hati, termasuk tokoh agama atau juru dakwah.
Jalan Tengah
Dalam proses perundungan tanpa henti itu, Gus Muwafiq memilih "jalan tengah" dengan "sowan/silaturahmi berkeliling" pesantren di Jawa Timur pada tanggal 9—11 Desember 2019, di antaranya di Lirboyo dan Ploso, Kediri, Jawa Timur, lalu sowan kepada Rais Syuriah PWNU Jatim K.H. Agoes Ali Masyhuri di Sidoarjo, Jawa Timur.
Tidak hanya itu, Gus Muwafiq juga bertandang ke Pesantren Langitan di Tuban dan Pesantren Sidogiri di Pasuruan. "Saya minta maaf telah merepotkan para ulama sepuh," kata Gus Muwafiq saat menghadiri haul di Yogyakarta menjelang "sowan berkeliling" ke beberapa pesantren di Jatim.
Silaturahmi Gus Muwafiq ke beberapa pesantren di Jatim itu agaknya dapat menjadi "jalan tengah" karena para ulama yang dikunjungi menilai ungkapan Gus Muwafiq dalam ceramahnya yang viral (dan terpotong) itu tidak sengaja menghina nabi. Seorang penceramah itu menyampaikan ajaran nabi sehingga tidak mungkin melecehkan orang yang ajarannya didakwahkan.
"Jangan bodoh. Jangan mau dibodohi oleh setan kebencian. Tidak ada orang muslim, umat Nabi Muhammad saw.—apalagi yang sehari-hari melakukan dakwah menyampaikan sabda Nabinya—sengaja menghina Nabinya sendiri. Jaga akal sehat. Jangan tunduk pada setan kebencian dan iblis adu domba," kata K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah .
Baca juga: Gus Mus minta umat Islam perbanyak istighfar
Dalam akun Facebook-nya (7-12-2019), Mustasyar PBNU itu mengutip hadis yang diriwayatkan Muslim. "Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Jadilah, kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, mendustainya, dan menghinakannya. Takwa itu ada di sini (Nabi menunjuk dada beliau sebanyak tiga kali)."
Meski dinilai tidak sengaja, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, tetap meminta Gus Muwafiq berhati-hati dalam menyampaikan dakwah dan tetap bersemangat untuk terus berdakwah.
"Beliau silaturahmi dan tabayun supaya umat tidak salah persepsi dengan ceramahnya. Tadi disampaikan beliau, videonya dipotong-potong, padahal sudah dijelaskan Rasulullah tidak seperti manusia biasa, sudah dijelaskan, tetapi dipotong-potong," kata pengasuh PP Lirboyo Kediri K.H. An'im Falahudin Mahrus saat menerima Gus Muwafiq di Lirboyo, Kediri, Jatim (9/12).
Dalam kesempatan itu, Gus Muwafiq juga menjelaskan tentang kata-kata "rembes" saat ceramah, yang dinilai Gus Muwafiq bermakna kotoran di mata setelah bangun tidur. Namun, orang lain mengatakan "rembes" adalah dekil, seolah tak terawat.
Namun, Gus An'im, sapaan akrabnya, tetap mengapresiasi sikap Gus Muwafiq yang tidak segan meminta maaf atas perkataan yang dinilai tidak baik. "Ada sebagian yang diakui oleh beliau tentang pernyataan yang menurut beliau salah ketika itu. Ada yang beliau anggap pernyataan beliau itu karena perbedaan bahasa saja," katanya.
Bagi seorang dai dengan jam dakwah yang cukup banyak, kata dia, kadang terjadi kontroversi. Misalnya, saat Gus Dur (mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid) pernah dirundung ketika mengucapkan ucapan salam, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh yang diganti dengan ucapan selamat pagi.
Baca juga: NU Bogor hadirkan mantan Aspri Presiden Gus Dur
Begitu juga dengan Ketua Umum PBNU K.H. Sadi Aqil Sirodj yang juga pernah dirundung dengan luar biasa. "Saya kira Kiai Ahmad Muwafiq tetap tegas dan terus melakukan dakwahnya. Mungkin kejadian ini ada introspeksi dan hati-hati dalam memilih bahasa," ujarnya.
Selain bertemu dengan para masyayikh dari Pesantren Lirboyo Kediri, Gus Muwafiq juga berkunjung ke Pesantren Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, ke tempat K.H. Ali Masyhuri di Sidoarjo, dan ke PP Langitan, Kabupaten Tuban, serta ke Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jatim.
Ya, beda pendapat di kalangan NU itu sebenarnya biasa dan sangat biasa. Akan tetapi, era medsos memang perlu hati-hati dan mengerem diri. Oleh karena itu, penyelesaian khas NU dengan silaturahmi kepada para ulama sepuh yang dilakukan Gus Muwafiq merupakan ikhtiar meredam perundungan dan mencegah upaya eksternal menjadikan "perbedaan" di kalangan NU untuk bahan "menyerang" NU.
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019