Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo meminta Menko Polhukam Mahfud MD mengawal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM besar masa lalu.
"Saya laporkan semua yang dilakukan Menko Polhukam, termasuk rencana RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Menko Polhukam Mahfud MD usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu.
Baca juga: PPP: RUU KKR cara selesaikan pelanggaran HAM non-yudisial
Ia menyebutkan Presiden Jokowi selain meminta dirinya ikut mengawal pemberantasan korupsi, juga ikut mengawal penyelesaian kasus HAM.
"Presiden memberi penekanan pemberantasan korupsi di berbagai sektor supaya ke depan lebih efektif, lalu juga penyelesaian kasus HAM," katanya.
Ia menyebutkan pemerintah ingin menyelesaikan penanganan pelanggaran HAM yang macet.
"Karena sudah belasan tahun reformasi, kita ingin menyelesaikan masalah HAM masa lalu," katanya.
Baca juga: KKR, harapan baru penyelesaian kasus pelanggaran HAM
Setelah dipetakan, lanjutnya, ada yang sudah diadili, ada yang tidak ditemukan objek maupun subjeknya, sehingga perlu dicari seperti apa kebenarannya, lalu rekonsiliasi.
"Kan subjek pelaku sudah tidak ada, saksi sudah tidak ada, bagaimana misalnya kalau diminta visum atas korban tahun 1984? Siapa yang mau visum? Dalam kasus petrus itu, kan itu sudah tidak ada bukti, saksi-saksi, pelaku dan lainnya, seperti itu yang akan diselesaikan," katanya.
Sebelumnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, baik dengan cara non yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial maupun sebaliknya.
"Pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini perlu mendapat dukungan," kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu saat jumpa pers di Kantor LPSK Jakarta.
Menurut dia, langkah pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ini mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki.
"Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro kontra. Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan. Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan," kata Edwin.
Baca juga: Riset: mayoritas masyarakat ingin kasus HAM masa lalu dituntaskan
Oleh karena itu, lanjut dia, agar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa dilakukan lebih progresif, maka penyelesaiannya tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non yudisial.
"Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik," katanya.
Namun demikian, pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh negara di luar proses formil itu adalah memenuhi hak para korbannya dan mengenang peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi untuk tidak terulang. Sejatinya, negara tidak sepenuhnya alpa kepada para korban.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019