Manado, (ANTARA News) - Propinsi Sulawesi Utara (Sulut) secara resmi menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi dan Pornoaksi, karena dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta budaya di Sulut.
Gubernur Sulut, SH Sarundajang, ketika menerima Tim Panitia Kerja (Panja) DPR RI terkait RUU Pornografi, Senin di Manado, mengatakan, penolakan RUU Pornografi dan Pornoaksi didasari atas aspirasi masyarakat serta melihat dampak masa depan bagi bangsa Indonesia.
Mantan Irjen Depdagri itu, mengatakan, ada enam alasan penolakan itu, pertama, RUU tersebut adalah bukti salah tafsir bagi kelompok mayoritas dengan melegitimasi atas pemandulan UUD 1945 pasal 28.1 ayat(2) tentang diskriminasi, dan ayat (3) tentang indentitas budaya dan hak masyarakat.
Kedua, akhir-akhir ini timbul fenomena "main hakim sendiri" dari sekelompok orang yang mengklaim diri presentasi mayoritas. Ironisnya aparat penegak hukum tidak bertindak antisipatif, namun cenderung bertindak sebagai "pemadam kebakaran" belaka.
Ketiga, mengabaikan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat (1), (2), (3) tentang beragama, keempat, semangat RUU Pornografi bertentangan dengan Kovenan Ekosob dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi.
Kelima, pasal 14 RUU Pornografi tidak mengakomodir kepentingan masyarakat tradisional diberbagai daerah, seperti Papua, Kalimantan, Sulawesi, dengan tata cara berpakaian belum modern.
Keenam, RUU Pornografi dianggap rancu, karena dalam sistem hukum Indonesia Pornografi telah diatur pada KUHP pasal 282 dan 283, UU No32 Tahun 2002 tentang penyiaran, PP No.7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
Kemudian UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU.No 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO dan UU No.1 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tim Panja DPR RI itu, dipimpin Yoyoh Yusroh dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) didampingi Wakil Ketua Panja, Agung Sasongko (FPDIP) serta lima anggota Panja lainnya, serta tim pendamping dari Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Kejaksaan Agung dan Kementrian Komunikasi dan Informasi.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008