Jakarta (ANTARA) - Hakim Mahkamah Konstitusi meminta agar pemohon menjelaskan tafsir keadilan tentang pengembalian kerugian akibat First Travel.
"Jadi, judicial review ini kan mencoba memperbaiki yang dianggap tidak adil, anda kan mengatakan begitu, nah sekarang kalau bisa dilaksanakan dengan adil itu bagaimana," kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, di Jakarta, Selasa.
Menurut Arief bagaimana cara mengembalikan kerugian kepada korban, apalagi kalau catatan korban sudah tidak ada lagi dari Kasus First Travel yang sudah mendapat putusan inkracht dari Mahkamah Agung itu.
"Kalau misalnya direksi first travel sudah menghilangkan data itu, terus data itu nanti diperoleh dari mana. Kalau misalnya putusan hakim akhirnya mengikuti yang anda minta dikembalikan kepada korban, data korban sudah tidak ada semua," katanya.
Baca juga: Legislator usulkan pemerintah ikut menanggung korban First Travel
Baca juga: Pengadilan tolak gugatan perdata aset First Travel
Kemudian, uang yang dikumpulkan dari para korban juga sudah berkurang karena sudah dipakai foya-foya direkturnya, pengelola atau manajer First Travel.
"Dipakai membayar gaji, memberangkatkan orang-orang ke umroh, tinggal ada sisa sedikit, dan dikembalikan kepada korban, bisa terpenuhi tidak, orangnya siapa, terus ini pembagiannya gimana, siapa yang membagi," ucapnya.
Makanya menurut dia, pertimbangan hakim memutuskan aset First Travel yang menyatakan disita untuk kepentingan negara kemungkinan mempertimbangkan beberapa hal seperti dengan yang ia jelaskan.
Baca juga: Menag kantongi ide pecahkan masalah First Travel
Baca juga: Lika-liku pengembalian aset mereka yang ingin ke Tanah Suci
Selain soal keadilan, hakim juga meminta pemohon memperbaiki "legal standing". Hakim memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki berkas permohonan uji materi tersebut.
Pengacara korban, Pitra Ramadoni mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konsitusi terkait pasal 39 KUHP dan pasal 46 KUHAP yang menjadi dasar hakim Pengadilan Negeri Depok untuk membuat putusan perampasan aset First Travel, pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019