Canberra, (ANTARA News) - Kunjungan delagasi DPR RI ke Australia pekan lalu disayangkan kalangan mahasiswa Indonesia di negara Kangguru tersebut karena tanpa persiapan matang dan agenda jelas.Informasi yang dihimpun ANTARA menyebutkan 22 anggota delegasi Pansus RUU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ke Canberra dan Sydney dari 8 hingga 11 Oktober namun mereka gagal bertemu para mitra dialog dari Parlemen Australia di Canberra karena bertepatan dengan masa reses.Sejumlah aktivis mahasiswa Indonesia menganggap kunjungan delegasi tersebut sekadar berdarmawisata dengan anak dan istri . Hal tersebut dikemukakan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Flinders, Ariatna, maupun Ketua Bidang Akademik Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA) Hidayat Amir.Ketika menanggapi kunjungan tersebut, Ariatna mengatakan, delegasi anggota dan sekretariat DPR ke Australia selayaknya dilengkapi dengan agenda yang jelas dan persiapan yang matang apalagi mereka datang di saat kemiskinan akut dan dampak krisis keuangan dunia terus mengancam kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. "Kalau kunjungan mereka hanya sekadar formalitas belaka dan apalagi kalau sampai ada di antara mereka yang datang bersama anak istri, mendingan jangan. Kasihan rakyat," kata mahasiswa pascasarjana Universitas Flinders itu. Dia mengingatkan, setiap kunjungan resmi delegasi pejabat negara, termasuk DPR- hendaknya mengedepankan kepentingan rakyat. "Kalau studi banding menyertakan anak dan istri, itu tidak beda dengan studi wisata," katanya. Delegasi tersebut hanya diterima pejabat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT). Selama di Sydney pun, rombongan tim Pansus yang menginap di salah satu hotel berbintang di Jalan Pitt kota metropolitan ini juga hanya punya satu agenda pertemuan sehingga lebih banyak waktu yang kosong. Sepanjang Oktober 2008, selain kunjungan anggota Pansus RUU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang berasal dari lintas fraksi di DPR, termasuk Franksi Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, Australia masih akan diramaikan dengan kunjungan lain anggota DPR lainnya dan MPR. Kunjungan masih terus Pada akhir Oktober, disebutkan bahwa akan ada satu delegasi Pansus RUU tentang Rumah Sakit DPR yang akan mengunjungi Perth, Melbourne dan Sydney. Lalu, enam orang anggota MPR juga akan melakukan sosialisasi selama empat hari, termasuk bertemu unsur masyarakat Indonesia. Menanggapi maraknya studi banding, seperti yang dilakukan delegasi Pansus RUU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ke Canberra dan Sydney pekan lalu, Hidayat Amir mengatakan, sudah saatnya para anggota DPR lebih maksimal memanfaatkan saluran teknologi komunikasi dan informasi yang ada daripada berkunjung. "Apa yang dicari dari studi banding dengan rombongan yang besar? Dalam masalah RUU Lembaga Pembiayaan Ekspor misalnya, yang terpenting di sini kan mendapatkan konsep bukan melihat gedung. Intinya bagaimana kita mendapatkan informasi. Kalau informasi yang diperlukan tersedia di situs, atau dapat diperoleh hanya dengan menelepon dan korespondensi, ya tidak perlu berkunjung," katanya. Seandainya pun para anggota DPR merasa perlu berdiskusi dengan pihak luar, seperti Australia, sebaiknya lembaga DPR mengundang beberapa ahli Australia ke Indonesia, kata mahasiswa program doktor bidang ekonomi Universitas Queensland itu. Mahasiswa Indonesia di Australia terus mengeritisi kunjungan studi banding delegasi DPR. Pada 15 September lalu, misalnya, PPIA Cabang Australian Capital Territory (ACT) Canberra sempat memprotes studi banding delegasi Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR ke Australia karena dianggap "memboroskan uang pajak rakyat." Ketua PPIA Cabang ACT Ahmad Fauzie Nur dalam suratnya kepada para anggota delegasi BURT DPR yang berkunjung ke Australia dari 15 hingga 19 September 2008 lalu mengatakan, studi banding untuk meningkatkan "kualitas" kelembagaan DPR sebenarnya bisa dilakukan tanpa mengeluarkan banyak biaya. Studi banding bisa dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti lewat fasilitas telekonferense dan internet. (*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008