Oleh Rini UtamiJakarta (ANTARA News) -Seabad Kebangkitan Nasional dan satu dasawarsa bangsa ini menjalankan reformasi menjadi tonggak bagi TNI untuk melihat kembali yang telah dijalankan selama sepuluh tahun membenahi diri. Selama satu dasawarsa reformasi internal TNI, sebanyak itu pula maklumat, pidato, kolom, tulisan tentang apa dan bagaimana reformasi TNI itu dijalankan. Meski ada beberapa agenda yang belum terselesaikan, banyak pihak menilai reformasi TNI telah berjalan baik. Penilaian positif itu langsung diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berbuka puasa bersama di Markas Brigade Infanteri 17/Linud I/Kujang. Bahkan, Menteri Pertahanan Juwono pun mengklaim reformasi internal TNI telah berjalan 85 persen. Tak ketinggalan para pengamat yang biasa meragukan komitmen TNI mereformasi diri, turut menyatakan reformasi TNI telah berjalan baik. Tidak sampai di situ, reformasi internal yang dijalankan TNI jauh lebih maju dibandingkan reformasi yang dilakukan instansi lain di bidang keamanan seperti polisi dan intelijen. Pernyataan itu, bukan tidak berdasar mengingat sebelum angin reformasi kencang dihembuskan, sembilan bulan sebelum berakhirnya rezim Orde Baru, para petinggi TNI telah beberapa kali merumuskan paradigma baru TNI. Paradigma baru TNI tersebut adalah paradigma peran sosial politik TNI yang diterbitkan Markas Besar TNI pada 5 Oktober 1999, dan ditandatangani Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Wiranto. Paradigma baru peran sosial politik (sospol) TNI menjadi awal dari reformasi TNI dan berakhir pada 20 April 2000 di mana dalam rapat pimpinan TNI yang kala itu Panglima TNI dijabat oleh Laksamana TNI Widodo AS, TNI menyatakan akan memfokuskan diri pada tugas pokok pertahanan bukan sosial politik. Pengamat militer yang juga mantan pejabat TNI, Letjen (Pur) Agus Widjojo, menyatakan bahwa esensi dari reformasi TNI adalah menempatkan peran dan fungsi serta kewenangan TNI sesuai kaidah demokrasi. "Tapi, reformasi TNI bukan mendemokratisasi TNI, karena TNI adalah alat pertahanan negara yang sah dan diberi kewenangan memegang senjata dan selalu memiliki ciri organisasi militer yang bersifat hirarkis," tuturnya. Reformasi TNI lebih diartikan pengerahan dan penggunaan TNI baik untuk operasi militer perang dan operasi militer selain perang, harus berdasar keputusan politik, sesuai konstitusi dan dilakukan transparan. Pembenahan diri kembali di tubuh TNI tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada TNI. Bagaimana pun, sebagai konsekuensi memasuki tatanan demokrasi, kekuatan politik untuk menentukan kebijakan nasional berada di tangan elit politik, pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, termasuk untuk menyiapkan infrastruktur yang mendukung reformasi TNI agar berjalan maksimal.Reformasi TNI diakui telah mengalami beberapa kemajuan, ditandai dengan keberadaan Departemen Pertahanan (Dephan) sebagai otoritas sipil yang memiliki kewenangan mengatur dan mengontrol TNI. Hal itu dapat dilihat dari kewenangan Dephan dalam membuat kebijakan tentang penyelenggaran pertahanan negara, kebijakan umum penggunaan TNI dan komponen pertahanan lainnya, termasuk dalam hal penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional dan lainnya. Tidak itu saja, TNI telah dilepaskan dari kegiatan politik praktis dan bisnis dan ada upaya unuk menjadikan TNI lebih profesional baik dari aspek doktrin, kultural dan postur TNI di mada depan yang hingga kini masih terbentur terbatasnya anggaran. Namun, reformasi TNI juga menyisakan beberapa agenda dan permasalahan yang belum tuntas dilaksanakan, akibat kelambanan pemerintah dalam menyiapkan infrastrukturnya seperti peraturan presiden tentang pengalihan bisnis TNI dan peradilan militer. Tidak saja yang menyangkut bisnis militer dan peradilan militer, hingga kini pemerintah juga belum menyiapkan aturan tentang ketentuan operasional hubungan Dephan-TNI sesuai pasal 3 UU No 34/2004. Ketentuan Perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur perbantuan TNI kepada Polri sesuai pasal 7 undang-undang yang sama, juga belum dirumuskan. Begitu juga dengan peraturan pemberdayaan wilayah untuk kepentingan pertahanan, komponen cadangan dan pendukung pertahanan lainnya, peraturan pemerintah tentang kesejahteraan prajurit sesuai pasal 49 dan 50 UU TNI dan pengaturan operasional gelar TNI sesuai penjelasan 11 UU TNI. Terkait dengan UU No 3/2002 tentang Pertahanan, belum membentuk Dewan Pertahanan Nasional. "Jika ini tidak bisa dipenuhi pemerintah tepat waktu sesuai yang dimanatkan UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU No 3/2002 Tentang Pertahanan, bisa menjadi bom waktu bagi pemerintah," kata pengamat Lembaga Kajian Pertahanan dan Keamanan, Andi Widjojanto. Padahal, pasal 75 UU No34/2004 mengamanatkan, agar segala peraturan pelaksanaan undang-undang tentang TNI ditetapkan paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang. "Bagaimana jadinya, jika pemerintah belum atau tidak melaksanakan apa yang diamanatkan konstitusi," kata Andi. Reformasi TNI tidak bisa dilakukan setengah hati, tetapi harus dilanjutkan dan dilakukan sungguh-sungguh oleh pemerintah, antara lain dengan segera melaksanakan apa yang diamanatkan dalam undang-undang. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008
.prajurit sapta marga.