Surabaya (ANTARA News) - Peringatan peristiwa Bom Bali I yang terjadi 12 Oktober 2002 dan Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 menunjukkan pentingnya dialog untuk menghentikan aksi terorisme, kata pengamat dan cendekiawan Muslim Indonesia Prof Abdul A`la."Aksi-aksi teroris di Bali itu mungkin menyudutkan Islam, padahal teroris itu bukan hanya ada dalam Islam, tapi juga ada dalam prnganut Kristen, Protestan, Yahudi, dan agama lainnya, karena itu dialog itu penting," kata guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya itu kepada ANTARA News di Surabaya, Minggu.Ia mengemukakan hal itu menanggapi peringatan peristiwa Bom Bali I di beberapa tempat di Bali yakni Konsulat Australia, Jalan Mpu Tantular, Denpasar, dan monumen bom Bali I di Jalan Legian, Kuta (12/10), sedang peristiwa Bom Bali II diperingati di Memoriam Garden dan Konsulat Jendral Australia di Denpasar (1/10). Menurut Asisten Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, aksi teroris untuk ke sekian kalinya bukan jawaban untuk menghentikan penyetaraan Islam dengan teroris, melainkan dialog dan kerja sama merupakan cara paling penting untuk melawan pandangan yang salah itu. "Peringatan Bom Bali I dan II hendaknya mendorong dialog dan kerja sama antar umat dari berbagai agama dan lintas negara, sehingga perlawanan terhadap teroris itu dilakukan pada teroris dari agama mana pun, apakah Islam, Protestan, Yahudi, dan sebagainya," katanya. Cendekiawan muslim yang pernah berkunjung ke Israel pada 3-8 Desember 2007 itu menyatakan bila tidak ada dialog justru akan mendorong kecurigaan antar umat beragama, sehingga teror seperti Bom Bali itu akan terjadi terus-menerus. "Karena itu, kecurigaan harus diatasi dengan menyelesaikan ketidakadilan dan ketidakadilan itu dapat diatasi dengan dialog, bukan dengan bom. Teroris itu sesungguhnya merupakan kata yang netral dan maknanya adalah setiap orang yang mengancam orang lain," katanya. Oleh karena itu, kata dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, penempelan istilah "teroris" pada Islam itu harus diluruskan, karena orang Yahudi di Israel yang melakukan aneksasi dan ancaman terhadap bangsa Palestina juga harus ditempeli istilah yang sama (teroris). "Tapi, upaya meluruskan ketidakadilan itu bukan dengan cara kekerasan, melainkan dialog dan kerja sama justru cara yang penting penting untuk menunjukkan bahwa orang Islam yang baik dan tidak baik itu sama dengan orang Israel yang baik dan tidak baik," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008